Petisi Soetardjo: Indonesia Berparlemen
Sidang Volksraad
Petisi ini diajukan karena makin meningkatnya parameter ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal De Jonge. Petisi ini ditandatangani juga oleh I.J Kasimo, G.S.S.J Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong.
Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda.
Sutarjo Suryo Hadikusumo sebagai wakil Persatuan Pegawai Bestuur dalam Volksraad pada tanggal 15 Juli 1936 mengajukan usul yang kemudian dikenal dengan nama Petisi Sutarjo. Petisi tersebut berisi permintaan kepada pemerintah Belanda agar diselenggarakan musyawarah antara wakil Belanda dan wakil rakyat Indonesia untuk suatu perubahan dalam waktu 10 tahun mendatang dengan memberikan status otonomi kepada rakyat indonesia dalam lingkungan kerajaan Belanda.
Sebelum Indonesia dapat berdiri-sendiri Sutarjo mengusulkan langkah-langkah :
- Volksraad dijadikan parlemen sesungguhnya.
- Direktur Departemen diberikan tanggung jawab.
- Dibentuk dewan Kerajaan (Rijksraat) sebagai badan tertinggi antara Belanda dan Indonesia yang anggota-anggotanya merupakan wakil-keduabelah pihak.
- Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahirannya asal-usul, cita-cita nya memihak Indonesia
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan yang mengambil jalan yang radikal dan konservatif, petisi ini mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Pers Belanda, seperti Preanger Bode, Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad, menuduh usul petisi sebagai suatu: "Permainan yang berbahaya", revolusioner belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.
Golongan reaksioner Belanda, seperti Vaderlandsche Club berpendapat Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri dengan keadaanya yang masih rentan dan rapuh untuk menjankan pemerintahan yang otonom. Tetapi ada juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada Soetardjo.
Pihak pemerintah Hindia-Belanda sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan perananan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk mengurus segala sesuatunya. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga bermacam-macam.
Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti: Surat Kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah Soeara Katholiek menyokong usul petisi. Usul petisi dengari cepat tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini.
Menurut Harian Pemandangan saat usul ini dimajukan sangat terlambat, yaitu saat akan digantikannya Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda. Pada sidang Volksraad. Kemudian diputuskan untuk membicarakan usul petisi tersebut dalam sidang khusus tanggal 17 September 1936.
Pada tanggal 29 September 1936 selesai sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak. Dan pada tanggal1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal, dan Menteri Koloni di negeri Belanda.
Menunggu Putusan
Sementara menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri."
Rencana tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.
Petisi ini kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat seperti: Perhimpunan Indonesia (PI),Roekoen Pelajar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan Katholik Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII),PNI dan sebagainya.
Pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tardja secara samar-samar telah membayangkan bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur voor Inlahdse Zaken, Directeur van Onderwijs en Eredienst, telah menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.
Juga mengingat ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini, maka tidak dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana bagi masa yang akan datang. Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun petisi harus ditolak sehingga perubahan secara prinsip bagi kadudukan Indonesia dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan.
Jawaban Ratu Wilhemina
Akhirnya dengan keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Wihelmina. Alasan penolakannya antara lain ialah: "Bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri."
Menanggapi Petisi Sutarjo ini pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Visman yang diberi tugas untuk menggali aspirasi dan keinginan rakyat Indonesia ke depannya. Pada hakekatnya komisi Visman hanya digunakan untuk memuaskan rakyat Indonesia mengenai keberadaannya di kemudian hari dan tidak sungguh-sungguh memihak pada rakyat . Komisi Visman tidak menghasilkan apa-apa dan tidak merubah keadaan Indonesia.
Langkah Pergerakan Nasional Selanjutnya
Langkah-langkah baru dalam pergerakan nasional perlu dilakukan karena terjadinya perubahan situasi. Gerakan-gerakan nonkoperatif jelas tidak mendapat jalan, dan harus ada dibawah persetujuan pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, masih ada jalan untuk meneruskan perjuangan lewat dewan rakyat. Partai-partai politik masih ada kesepakatan untuk melakukan aksi bersama, sehingga muncul apa yang dikenal sebagai petisi Sutarjo pada tanggal 15 Juli 1936.
Sutarjo mengajukan usul kepada pemerintah Hindia Belanda agar diadakan konferensi kerajaan Belanda yang membahas status politik Hindia Belanda. Ia menginginkan kejelasan status politik Hindia Belanda dalam 10 tahun mendatang yang berupa status otonomi, meskipun masih ada dalam batas pasal 1 Undang-undang Dasar kerajaan Belanda.
Hal ini dimaksudkan agar tercapai kerja sama yang mendorong rakyat untuk memajukan negerinya dengan rencana yang mantap dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi dan sosial. Jelas bahwa petisi ini bersifat moderat dan kooperatif melalui cara-cara yang sah dalam Dewan Rakyat.
Petisi yang ditandatangani I.J. Kasimo, Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Kwo Kwat Tiong dapat dipandang sebagai upaya untuk keluar dari jalan sempit yang dilalui para nasionalis. Berbagai pihak memberikan kritik. Sebagian mengatakan bahwa penganjur petisi itu tidak ada bedanya dengan peminta-peminta yang minta dikasihani, sedangkan yang lain mengatakan petisi itu mengurangi perjuangan otonomi. Pada umumnya pihak Belanda menolak petisi itu mengurangi perjuangan otonomi.
Pada umumnya pihak Belanda menolak petisi itu dan Vaderlandse Club (VC) menganggap hal itu terlalu prematur. Partai Kristen, Partai Katolik, dan kaum Indo berpandangan bahwa petisi tersebut diajukan pada saat yang tidak tepat, karena masalah-masalah lain yang lebih besar dan sedang dihadapi. Meskipun dalam Dewan Rakyat lebih banyak menyetujui petisi itu, tetapi pemerintah menganggap masih terlalu prematur dan otonomi yang diusulkan dianggap tidak wajar. dengan kata lain, pemerintah tidak menginginkan adanya perubahan yang dianggap membuka peluang yang mengancam runtuhnya bangunan kolonial.
Makin majunya tuntutan para nasionalis moderat membuktikan runtuhnya politik etis yang selalu didambakan, karena pemerintah masih memegang kuat paternalismenya dan tidak berniat baik dalam memberikan kebebasan hakiki, sehingga dapat diramalkan bahwa petisi sutarjo itu tidak akan berhasil. Para nasionalis sendiri menganggap bahwa petisi harus disebarluaskan ke tengah masyarakat.
Pada tahun 1938 banyak diselenggarakan rapat untuk mendukung petisi itu. Rapat-rapat itu merupakan suatu usaha gigih yang dilakukan para nasionalis waktu itu salah satu runtut dari petisi ini adalah di bentuknya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) adalah suatu organisasi payung dari partai-partai dan organisasi-organisasi politik. GAPI berdiri pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian organisasi nasional di Jakarta dengan tuntuta "Indonesia Berparlemen."
Babak Baru Pemerintahan Jepang
Tidak lama setelah terbentuknya badan baru tersebut, tanggal 7 Desember 1941 Jepang menyerang pakalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour. Mengetahui kejadian ini Mr. Sartono dan Sukardjo Wirjopranoto mengeluarkan anjuran agar rakyat Indonesia berdiri di belakang Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda. Anjuran ini menimbulkan perselisihan, yang menyebabkan Abikusno keluar dari MARI dan GAPI, sebab anjuran itu diterbitkan tanpa persetujuan dari anggota-anggotanya.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat. “Serah terima” itu diwaklili oleh Jendral Ter Poorten (Belanda) kepada Jendral Hitoshi Imamura (Jepang) di lapangan terbang dekat Bandung. Sejak saat itu, kekuasaanpun berganti, dari Belanda ke Jepang. Dimulailah sebuah babak baru, pemerintahan Jepang di nusantara.
0 Response to "Petisi Soetardjo: Indonesia Berparlemen"
Post a Comment