Si Bener, Cerita Rakyat Betawi
Tersebutlah seorang laki-iaki, si Bener namanya. Tiada lain kerja si Bener hanyalah mengail. Setiap hari ia mengail dilaut. Mata kailnya jarum sedang, umpannya bekatul. Karena itu ia tak pernah berhasil mendapatkan ikan. Malah ikan-ikan di laut menjadi kian banyak, sebab setiap hari memakan bekatul umpan kail Si Bener.
Raja ikan di dasar lautan mengetahui hal itu. Maka sang raja mengumpulkan seluruh rakyatnya. Kepada para ikan raja itu berkata,"Hai rakyatku, kita harus menyayangi Si Bener, sebab setiap hari kita diberinya makan". "Akur-akuur". Seru ikan-ikan itu senang. "Hai raja" , ujar cucu! "Umurku sudah amat tua. Tak guna lagi hidup. Aku ingin membuktikan nyawaku kepada Si Bener". "Na baguslah jika demikian", sahut Raja ikan, "Ini telanlah"' Raja ikan membeiikan intan sebesar kepala.
Cucut menelan intan itu. Lalu ikan itu berenang ke pantai. Kail si Bener yang terapung-apung digigit oleh cucut itu. Tentu saja si Bener terkejut. Bertahun-tahun baru kali itu kailnya mengena.
Segera si Bener menarik pancingnya. Makin terkejut laki-laki itu. Baru pertama seumur hidupnya ia melihat cucut sebesar itu. Senang bukan main hati pengail itu.
Dari kejauhan tampak sebuah kapal. Segera si Bener berseru-seru. Seruannya terdengar oleh Matros. Lalu disampaikan kepada nakhoda. Nakhoda kemudian memerintahkan juru mudi menghentikan kapal.
Nakhoda turun dengan sekoci. Ia menanyai si Bener, "Hai nelayan, apa hajatmu hingga menghentikan kami?"
"Wahai tuan nakhoda", sahut Si Bener, "Sudilah tuan menyampaikan ikan ini sebagai persembahan hamba kepada raja negeri seberang".
"Baiklah akan aku sampaikan persembahan ini" .
Nakhoda pun meneruskan perjalanannya. Saat singgah di negeri seberang, ia pun menghadap baginda. Ikan cucut dari Si Bener dipersembahkannya.
"Hmm, hanya seekor ikan" , Sabda Baginda setelah nakhoda pergi, "Sudah bau pula". Baginda menekan perut ikan itu dengan tongkatnya. Keluarlah sebutir intan sebesar kepala. Sungguh terkejut baginda. Lekas intan itu diambilnya.
"Intan sebesar ini kubeli dengan negaraku pun tak akan terbeli", pikir sang raja, "Jika demikian layaknya kuberi sedikit imbalan pada pemilik ikan bau itu".
Nakhoda yang baru saja akan bertolak segera dipanggil. Kepadanya baginda menitipkan sepeti uang emas untuk diserahkan kepada Si Bener.
Nakhoda pun kembali berlayar. Saat itu singgah di dusun Si Bener diserahkannya peti uang itu. Bukan main suka citanya Si Bener.
Dengan uang yang dimilikinya, Si Bener membeli sebuah rumah besar, ternak, sawah dan kebun. Kini hidup Si Bener menjadi senang.
Perihal kekayaan Si Bener terdengar oleh raja. Timbul rasa dengkinya. Baginda pun memanggil laki-laki itu. Ia ingin merebut harta kekayaan pengail itu.
Saat Si Bener berdatang sembah, bersabdalah sang raja "Hai Bener, karena kau hidup di atas tanahku, kau harus patuh pada perintahku".
"Ampun beribu ampun wahai paduka", sembah Si Bener, "Segala titah duli sah alam akan hamba junjung tinggi".
"Bagus jika demikian", baginda meneruskan, "Salah satu kapalku yang mengangkut selaksa jarum telah tenggelam, kini ambilkanlah jarum-jarum di dasar lautan itu. Jika ada yang kurang, kupancung kepalamu".
"Daulat wahai paduka", sembah Si Bener, "Titah paduka akan hamba laksanakan".
Selesai berucap demikian, pergilah Si Bener ke pantai. Hatinya kecut. Samudera demikian luas dan dalam. Bagaimana mungkin ia menemukan selaksa jarum di dalamnya.
Tiba-tiba muncul Si raja ikan. "Hai pengail", ujar raja ikan", "Mengapa kau tampak murung?"
"Hamba dititahkan baginda mencari selaksa jarum di laut", sahut Si Bener. "Bagaimana mungkin hamba dapat melakukannya?"
"Sudahlah laki-laki pengail. Serahkan saja perihal itu padaku".
Raja ikan memanggil seluruh rakyatnya. Ia memerintahkan para ikan untuk memunguti selaksa jarum di lautan. Hanya separuh ikan telah kembali. Semuanya membawa jarum.
Telah terkumpul selaksa jarum milik raja. Si Bener pun mempersembahkan jarum-jarum itu. Bukan main tercengangnya baginda
raja.
"Hai Bener", sabda Baginda, "Aku lupa satu hal. Kapalku yang tenggelam itu juga membawa pedang wulung. Kini ambillah pedang itu. Jika kau gagal, kepalamu sebagai gantinya".
Kembali Si Bener ke pantai. Ia berpikir, raja tentu memiliki niat buruk. Jika tidak tentu ia tak akan menitahkan hal-hal yang mustahil kepadanya.
Selagi Si Bener berpikir, kembali muncul raja ikan. "Hai pengail", tegur si raja ikan, "Mengapa lagi kau murung?"
"Baginda menitahkan hamba mengambil pedang wulung", jawab Si Bener.
"Pedang wulung itu milik raja buaya", ujar Raja ikan "Jahat bener rajamu, ia menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Tapi baiklah, akan kupanggil raja buaya".
Tak berapa lama raja buaya pun muncul, "Hai raja ikan, aku sudah mendengar percakapan kalian. Jika raja manusia itu menginginkan pedangku, datanglah ke muara esok hari".
Perkataan raja buaya disampaikan kepada baginda raja. Esoknya baginda pergi ke muara. Duduklah ia menunggu kedatangan raja buaya.
Raja buaya pun muncul. Ia tak membawa pedang yang dijanjikannya. Ia memakan raja lalim itu. Ikan-ikan dan para penghuni air bersorak-sorai.
Raja telah tiada. Kini tinggalah patih. Patih memutuskan untuk mengangkat Si Bener menjadi raja. Rakyat pun senang. Si Bener memerintah dengan adil dan bijaksana.
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Raja ikan di dasar lautan mengetahui hal itu. Maka sang raja mengumpulkan seluruh rakyatnya. Kepada para ikan raja itu berkata,"Hai rakyatku, kita harus menyayangi Si Bener, sebab setiap hari kita diberinya makan". "Akur-akuur". Seru ikan-ikan itu senang. "Hai raja" , ujar cucu! "Umurku sudah amat tua. Tak guna lagi hidup. Aku ingin membuktikan nyawaku kepada Si Bener". "Na baguslah jika demikian", sahut Raja ikan, "Ini telanlah"' Raja ikan membeiikan intan sebesar kepala.
Cucut menelan intan itu. Lalu ikan itu berenang ke pantai. Kail si Bener yang terapung-apung digigit oleh cucut itu. Tentu saja si Bener terkejut. Bertahun-tahun baru kali itu kailnya mengena.
Segera si Bener menarik pancingnya. Makin terkejut laki-laki itu. Baru pertama seumur hidupnya ia melihat cucut sebesar itu. Senang bukan main hati pengail itu.
Dari kejauhan tampak sebuah kapal. Segera si Bener berseru-seru. Seruannya terdengar oleh Matros. Lalu disampaikan kepada nakhoda. Nakhoda kemudian memerintahkan juru mudi menghentikan kapal.
Nakhoda turun dengan sekoci. Ia menanyai si Bener, "Hai nelayan, apa hajatmu hingga menghentikan kami?"
"Wahai tuan nakhoda", sahut Si Bener, "Sudilah tuan menyampaikan ikan ini sebagai persembahan hamba kepada raja negeri seberang".
"Baiklah akan aku sampaikan persembahan ini" .
Nakhoda pun meneruskan perjalanannya. Saat singgah di negeri seberang, ia pun menghadap baginda. Ikan cucut dari Si Bener dipersembahkannya.
"Hmm, hanya seekor ikan" , Sabda Baginda setelah nakhoda pergi, "Sudah bau pula". Baginda menekan perut ikan itu dengan tongkatnya. Keluarlah sebutir intan sebesar kepala. Sungguh terkejut baginda. Lekas intan itu diambilnya.
"Intan sebesar ini kubeli dengan negaraku pun tak akan terbeli", pikir sang raja, "Jika demikian layaknya kuberi sedikit imbalan pada pemilik ikan bau itu".
Nakhoda yang baru saja akan bertolak segera dipanggil. Kepadanya baginda menitipkan sepeti uang emas untuk diserahkan kepada Si Bener.
Nakhoda pun kembali berlayar. Saat itu singgah di dusun Si Bener diserahkannya peti uang itu. Bukan main suka citanya Si Bener.
Dengan uang yang dimilikinya, Si Bener membeli sebuah rumah besar, ternak, sawah dan kebun. Kini hidup Si Bener menjadi senang.
Perihal kekayaan Si Bener terdengar oleh raja. Timbul rasa dengkinya. Baginda pun memanggil laki-laki itu. Ia ingin merebut harta kekayaan pengail itu.
Saat Si Bener berdatang sembah, bersabdalah sang raja "Hai Bener, karena kau hidup di atas tanahku, kau harus patuh pada perintahku".
"Ampun beribu ampun wahai paduka", sembah Si Bener, "Segala titah duli sah alam akan hamba junjung tinggi".
"Bagus jika demikian", baginda meneruskan, "Salah satu kapalku yang mengangkut selaksa jarum telah tenggelam, kini ambilkanlah jarum-jarum di dasar lautan itu. Jika ada yang kurang, kupancung kepalamu".
"Daulat wahai paduka", sembah Si Bener, "Titah paduka akan hamba laksanakan".
Selesai berucap demikian, pergilah Si Bener ke pantai. Hatinya kecut. Samudera demikian luas dan dalam. Bagaimana mungkin ia menemukan selaksa jarum di dalamnya.
Tiba-tiba muncul Si raja ikan. "Hai pengail", ujar raja ikan", "Mengapa kau tampak murung?"
"Hamba dititahkan baginda mencari selaksa jarum di laut", sahut Si Bener. "Bagaimana mungkin hamba dapat melakukannya?"
"Sudahlah laki-laki pengail. Serahkan saja perihal itu padaku".
Raja ikan memanggil seluruh rakyatnya. Ia memerintahkan para ikan untuk memunguti selaksa jarum di lautan. Hanya separuh ikan telah kembali. Semuanya membawa jarum.
Telah terkumpul selaksa jarum milik raja. Si Bener pun mempersembahkan jarum-jarum itu. Bukan main tercengangnya baginda
raja.
"Hai Bener", sabda Baginda, "Aku lupa satu hal. Kapalku yang tenggelam itu juga membawa pedang wulung. Kini ambillah pedang itu. Jika kau gagal, kepalamu sebagai gantinya".
Kembali Si Bener ke pantai. Ia berpikir, raja tentu memiliki niat buruk. Jika tidak tentu ia tak akan menitahkan hal-hal yang mustahil kepadanya.
Selagi Si Bener berpikir, kembali muncul raja ikan. "Hai pengail", tegur si raja ikan, "Mengapa lagi kau murung?"
"Baginda menitahkan hamba mengambil pedang wulung", jawab Si Bener.
"Pedang wulung itu milik raja buaya", ujar Raja ikan "Jahat bener rajamu, ia menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Tapi baiklah, akan kupanggil raja buaya".
Tak berapa lama raja buaya pun muncul, "Hai raja ikan, aku sudah mendengar percakapan kalian. Jika raja manusia itu menginginkan pedangku, datanglah ke muara esok hari".
Perkataan raja buaya disampaikan kepada baginda raja. Esoknya baginda pergi ke muara. Duduklah ia menunggu kedatangan raja buaya.
Raja buaya pun muncul. Ia tak membawa pedang yang dijanjikannya. Ia memakan raja lalim itu. Ikan-ikan dan para penghuni air bersorak-sorai.
Raja telah tiada. Kini tinggalah patih. Patih memutuskan untuk mengangkat Si Bener menjadi raja. Rakyat pun senang. Si Bener memerintah dengan adil dan bijaksana.
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
First Published by Jakaarta.go.id
0 Response to "Si Bener, Cerita Rakyat Betawi"
Post a Comment