Ajaran Sufistik Sunan Kalijaga dalam Pewayangan


Harian Sejarah - Wakil Ketua PWNU DIY M. Jadul Maula berpendapat bahwa Sunan Kalijaga adalah Sufi Dunia yang senantiasa mengajak pada Tuhan melalui dirinya sendiri, 
Man ‘arafa nafsah, ‘arafa Rabbah (siapa telah mengenal dir sendiri maka telah mengenal Tuhannya). 

Hal tersebut disampaikannya dalam Seminar Nasional bertajuk “Sunan Kalijaga dan Kesatuan Agama-Ilmu-Seni” yang diadakan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (10/10), di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Jl. Laksda Adi Sucipto.

Sunan Kalijaga yang dikenal menyisipkan makna-makna sufistik pada lakon-lakon Wayang sebagai dasar ajarannya di setiap pementasan. Sebagai contoh adalah Lakon Jumenengan Parikesit.

Jumenengan Parikesit merupakan intisari atau ringkasan ajaran Sunan Kalijaga, juga sekaligus sebagai piwulang atau nasehat Sunan Kalijaga kepada Sutawijaya sebelum mendirikan Kerajaan Mataram. Meskipun sebenarnya, ajaran tersebut tidak hanya ditujukan kepada para Raja, melainkan kepada seluruh masyarakat.

Diceritakan bahwa Parikesit waktu itu akan dinobatkan sebagai raja di Hastinapura. Namun, agar jumeneng (tegak) sebagai raja, ada tiga syarat yang harus dilaluinya. Ketiga syarat tersebut adalah, dilenggahi atau dilantik oleh Wasi Jolodoro, mendatangkan Punokawan, dan harus punya senjata Keris Luksongo.

“Namun Parikesit di situ bukanlah calon raja sebenarnya, melainkan ia hanya sebagai pralambang dari jati diri kita. Karakter atau jati diri kita ini sudah kuat atau tidak?” ujar Kang Jadul, sapaan akrab budayawan ini.

Karakter atau jati diri yang kuat merupakan bekal paling penting dalam kehidupan seseorang. Ketiga syarat yang diajukan kepada Parikesit tersebut merupakan gambaran langkah yang harus ditempuh seseorang agar memperoleh karakter atau jati diri yang kuat agar dapat menyatu dengan Tuhan.

Syarat pertama adalah dilenggahi Wasi Jolodoro. Wasi Jolodoro adalah Kakak dari Kresna. Ini merupakan lambang dari batin yang sudah disucikan di Grojokan Sewu. Oleh karenanya ia berwarna putih, lantaran kesucian batin yang dimilikinya.

Menurut Kang Jadul, batin yang suci atau bening merupakan landasan utama yang harus kuat, dan tokoh-tokoh di dalam Wayang merupakan gambaran dari 10 unsur yang ada di dalam diri manusia.

Unsur pertama hingga kelima adalah lima panca indra yang digambarkan melalui Pandawa Lima (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa). Kelima unsur tersebut tidak bisa menang jika tidak didukung oleh lima unsur lain yang merupakan unsur keenam hingga kesepuluh. 

Pertama, Baladewa, sebagai lambang dari batin. Kedua, Kresna, yang memiliki senjata Cakra yang bisa memutarbalikkan fakta. Kresna tersebut merupakan gambaran dari pikiran kita yang bisa memutarbalikkan fakta. Ketiga, Sembada, Istri Arjuna. Ini merupakan lambang dari perasaan atau kelembutan, dimana Sembada memiliki kelembutan perasaan yang luar biasa. Keempat, Karno, yang merupakan lambang keseimbangan, dan terakhir adalah ruh.

“Kesepuluh unsur tersebut harus bersambung dengan baik agar menghasilkan batin yang jernih, karena batin yang jernih akan menghasilkan pikiran yang jernih, dan sebaliknya, batin yang keruh akan menghasilkan pikiran yang jahat,” ungkap pengasuh Pesantren Kaliopak Bantul tersebut.

“Ini sebenarnya merupakan konsep kemanusiaan yang utuh. Instrumen untuk menselaraskan bukanlah akal, apalagi perasaan, melainkan batin,” tambahnya.

Syarat kedua yaitu mendatangkan Punokawan. Punokawan yang berjumlah empat, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong merupakan simbol dari empat Malaikat yang terdapat pada diri manusia, yakni Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izroil. Punokawan disini merupakan gambaran dari fungsi tugas-tugasnya Malaikat, yaitu mengawasi manusia.

Adapun syarat ketiga adalah Keris Luksongo. Songo yang merupakan bahasa Jawa dari Sembilan adalah hasil dari delapan ditambah satu. Maksudnya, delapan tersebut adalah empat unsur alam yang terdapat dalam diri manusia, yakni udara, tanah, air, dan api, yang kemudian ditambahkan empat benda langit. Nantinya dengan kedelapan unsur tersebut akan dapat mengantarkan pada satu, Tuhan.

“Dari sini dapat dipastikan bahwa jika seseorang memiliki hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minal ‘alam (hubungan dengan alam) yang baik, maka tentu akan memiliki hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia) yang baik pula. Itulah sebenarnya ajaran struktur dasar Sunan Kalijaga pada orang Jawa (khususnya), dan Nusantara (umumnya),” papar Kang Jadul panjang lebar.

Respon politik kita saat ini, lanjutnya, sudah keluar dari nilai ini alias melupakan alam. Padahal hal tersebutlah yang menguatkan Kerajaan Mataram dapat bertahan sampai sekarang, yakni selama 500 tahun. Tentu tidak mudah membuat sebuah kerajaan agar bertahan selama itu. Ajaran inilah yang harus dimunculkan kembali agar bisa melindungi tanah Jawa dan Nusantara, yakni keseimbangan antara mikro kosmos dengan makro kosmos. 
(Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib)


Shared From NU.or.id

0 Response to "Ajaran Sufistik Sunan Kalijaga dalam Pewayangan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel