Karakter Tionghoa Menghadapi Era Globalisasi
...Sebuah Tinjauan terhadap Pengajaran Karakter di Keluarga Tionghoa Tulungagung
Tionghoa’s Character Challenges the Globalization Era
A Review of Character Teaching in Tionghoa’s Family in Tulungagung
Memasuki era globalisasi di mana dunia tempat kita berpijak tidak lagi saling berjauhan antara satu dan lainnya, semua negara di belahan dunia dihadapkan pada dua pilihan: saling bersaing atau saling bekerjasama. Tidak jarang kedua pilihan harus diambil secara bersamaan. Dalam menghadapi hubungan yang tak terhindarkan ini, masyarakat Indonesia tentu haruslah mengambil sikap yang benar dan menyikapi ini dengan tepat. Terutama pada generasi muda yang nantinya akan menjadi ujung tombak penikmat globalisasi. Generasi muda sebagai penerus bangsa haruslah mengerti bagaimana cara bersikap sehingga menguntungkan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Tetapi, kenyataan agaknya berkata sedikit berbeda.
Tidak sedikit generasi muda Indonesia yang menempatkan dirinya secara kurang tepat dalam percaturan sosial-budaya masa modern ini. Beberapa di antaranya bersikap kurang menghargai budaya dan cenderung memiliki pemikiran atau perencanaan jangka pendek. Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah, namun melihat kondisi yang akan segera menyapa Indonesia kurang dari satu dekade mendatang –pasar bebas Asia dan Dunia, hal ini tentu perlu lebih diperbaiki lagi. Banyak kasus penyimpangan non-kriminal hingga kriminal yang terjadi di kalangan generasi muda. Hal ini membuat penulis terdorong untuk mengungkapkan sebuah tinjauan singkat mengenai pengajaran karakter. Sebagai generasi muda Indonesia, hendaknya mampu menjaga diri dari perilaku yang mengkhianati dasar-dasar sejarah kita. Di mana masyarakat Indonesia terkenal sebagai insan yang ramah dan mengundang hormat asing.
Jika boleh melakukan sedikit studi banding ke Tiongkok (Republik Rakyat Cina) yang baru saja dideklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 1 Oktober 1949. Sekarang Tiongkok telah menjadi raksasa ekonomi dan teknologi yang menyaingi negara adikuasa Amerika Serikat. Padahal dari segi sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi yang tidak kalah luar biasa dari Tiongkok. Kemudian bolehlah kita bertanya “Apa yang membuat Tiongkok dapat maju sedemikian cepat?”
Untuk menjawab pertanyaan itu secara mendalam, rekan-rekan ahli ekonomi dan hubungan internasional barangkali lebih piawai dalam menjawab hal-hal yang berkaitan dengan teknisnya. Namun secara sekilas, dapat kita lihat bahwa sumber daya manusia (SDM) agaknya merupakan kunci yang berperan penting dalam kesuksesan Tiongkok. Tiongkok kiranya mampu mendidik SDM sehingga menghasilkan output yang baik secara intelejensi, emosi, maupun sosial. Hal ini memang tidak ditunjukkan di semua wilayah di Tiongkok, namun tanpa adanya SDM yang mendukung ini, tak mungkin Tiongkok akan mengalami kesuksesan dengan cepat.
Melihat sisi sejarah, Tiongkok memiliki sumber yang kaya akan filosofi dan ajaran adat yang selalu diajarkan turun temurun. Hal ini yang membuat ciri masyarakat keturunan Tiongkok di negeri-negeri di luar Tiongkok menjadi kental dan tak tergoyahkan. Ajaran adat yang tradisional ini kemudian mendapat tempat dan diterima oleh setiap generasi sehingga terpelihara hingga sekarang.
Dengan jawaban tersebut, sebenarnya Indonesia tidak kalah kaya akan filosofi dan adat. Bahkan melalui berbagai karya modern yang mengangkat ajaran-ajaran kuno, kita dapat melihat betapa kita telah melupakan hal yang seharusnya kita warisi sebagai masyarakat Indonesia. Memiliki wilayah yang luas dengan budaya yang beragam harusnya menjadikan kita pewaris yang sah atas budaya setiap jengkal tanah yang sekarang bernama Indonesia. Permasalahan yang muncul adalah pada tingkat penerimaan generasi berikutnya. Pewarisan budaya itu agaknya mendapat hambatan yang cukup serius. Pandangan sebagian generasi muda terhadap budaya yang luhur dapat digambarkan melalui kata “kuno”. Inilah yang berusaha diubah melalui penulisan esai-esai semacam ini.
Hidup selama bertahun-tahun untuk mempelajari budaya, filosofi dan struktur keluarga Tionghoa yang ada di Jawa Timur membuat penulis sadar bahwa budaya Tionghoa ini bukanlah sebuah budaya asing yang dimiliki Tiongkok. Secara historis, memang benar adanya bahwa akar dari budaya ini dibawa dari Tiongkok. Namun, mempelajari lebih dalam lagi, dapat kita rasakan aroma budaya lokal sekitaran keluarga-keluarga ini hidup, ikut membentuk budaya baru yang akhirnya menghidupkan budaya Tionghoa dan bukan budaya Tiongkok. Berangkat dari pemikiran ini, budaya Tionghoa merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang sah kita klaim sebagai milik Indonesia modern. Kita sebagai generasi yang masih hidup adalah pewaris sah kebudayaan ini sejauh kita menyandang kewarganegaraan Indonesia. Menyadari hal itu, ada beberapa prinsip hidup yang digunakan anggota-anggota keluarga senior untuk mendidik keturunan mereka yang akan dikemukakan oleh penulis.
Melalui wawancara dengan seorang kepala keluarga Tionghoa di Tulungagung, Tn. Tio Bo Hien (Hindarto), penulis dapat merumuskan prinsip hidup tersebut. Hien merupakan menantu dari seorang ketua Zhong Hua Xue Xiao (Sekolah Tionghoa) di Tulungagung, Jawa Timur periode 1960an, Ong Biauw Djwan, yang juga pendiri kelompok pementasan Wayang Wong Tionghoa, Sasana Mulya. Dalam pembentukan karakter itu, diperlukan lima dasar kendali pribadi yang menjadi dasar karakter manusia. Hal ini selalu diajarkan turun temurun dalam keluarga di lingkungan Tulungagung.
Pertama adalah kesabaran, Seorang manusia yang berkarakter haruslah memiliki kesabaran dan menghindari emosi yang meledak-ledak. Hien melanjutkan, ekspresi emosi itu adalah hal yang wajar, namun harus terkontrol agar menciptakan kondisi yang baik antar sesama. Kesabaran akan mengajarkan kepada kita untuk berpikir secara logis dalam situasi apapun. Hal yang oleh dia disebut dalam Bahasa Jawa sebagai katos ini dapat mempertahankan hubungan baik antar manusia dan rasa kepercayaan yang tinggi dari orang lain. Penghormatan juga akan datang sebagai efek dari kepercayaan. Orang sabar, katanya, akan dipandang baik di kalangan masyarakat. Penghormatan terhadap orang yang sabra ini tidak akan terbatas pada golongan etnis yang sama, namun juga dari semua kalangan. Ia melanjutkan, bahwa kesabaran dapat diterapkan secara universal. Setelah melalui wawancara yang panjang, Hien mengatakan bahwa ia mempelajari prinsip kantos ini dari ibu dan proses belajar terhadap budaya Jawa.
Kedua adalah kesadaran. Kesadaran berarti pengetahuan yang cukup dalam melakukan sesuatu atau mengambil keputusan. Sadar akan risiko atau efek yang akan terjadi dari suatu hal yang dilakukan. Kesadaran, menurut Hien, adalah hal yang penting karena ini merupakan suatu bentuk dasar dari tanggung jawab. Semua orang yang melakukan hal dengan kesadaran boleh jadi menyesal di masa depan, namun tidak akan menyalahkan orang lain. Insan yang sadar itu akan melakukan introspeksi dan memperbaiki diri alih-alih mencari pembenaran. Kesadaran adalah ciri yang menarik dari insan yang baik. Melalui prinsip ini, tidak dibenarkanlah kita untuk melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan efek sampingnya. Dalam mengambil keputusan ataupun tindakan, manusia harus mempunyai kesadaran akan apa yang dilakukan.
Ketiga adalah penalaran. Nalar pikiran adalah kelanjutan dari kesadaran. Manusia dalam melakukan hal dan memutuskan suatu keputusan harus memiliki nalar yang baik. Pemikiran yang jauh dan perencanaan yang matang. Segala hal harus dipikirkan baik atau buruknya. Selain itu, risiko yang mungkin terjadi juga adalah perhatian utama yang harus ada dalam setiap keputusan. Hal ini adalah prinsip utama seorang Tionghoa ketika berbisnis: memiliki penalaran matang akan kondisi ekonomi dan risiko kedepannya. Lebih baik menghindari hal buruk daripada memperbaikinya, namun tidak pula perbaikan hidup disalahkan. Sekali salah langkah, maka hidup tidak akan bisa diulang lagi. Manusia harus memikirkan sesuatu hal sebelum melakukannya, demikian kata Hien.
Keempat adalah introspeksi diri. Manusia memiliki dorongan untuk menyalahkan orang lain ketika hal buruk terjadi. Seperti pada pembahasan beberapa paragraf sebelumnya, kebiasaan ini agaknya harus kita hindari dalam rangka menjadi insan yang lebih baik. Sebelum menimpakan kesalah kita pada orang lain, baiknya kita melihat diri kita. Hien mengatakan bahwa manusia yang paling baik sekalipun mempunyai kesalahan, hal ini tidak bisa dihindari karena sudah menjadi kodrat manusia. Bentuk terimakasih kita karena sudah diberi kehidupan adalah dengan meminimalisir kesalahan, namun jika sudah terjadi, haruslah diperbaiki. Bukan dilemparkan ke orang lain yang berada di sekitar kita. Namun beliau mengingatkan, janganlah kita lupa pula pada pintu maaf yang ada jauh di dalam hati kita. Jika ada orang membuat kesalahan pada kita, haruslah kita maafkan dengan harapan orang itu akan memperbaiki hidupnya.
Kelima dan yang terakhir adalah disiplin dan jujur. Kedua hal ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Merupakan sebuah kunci utama agar dapat melakukan keempat prinsip terdahulu secara berkelanjutan. Masyarakat Tionghoa modern terkenal dengan kedisiplinan yang tinggi serta kejujuran yang juga mengikutinya. Untuk ikut membentuk karakter masyarakat Indonesia yang baik, kedisiplinan dan kejujuran juga merupakan kunci utama. Berkali-kali terdengar pertanyaan “mengapa orang Tionghoa bisa sukses dengan cepat?”, yang dijawab oleh Hien: tidak cepat. Menurut Hien, kesuksesan itu akarnya adalah kedisiplinan dan kejujuran yang telah dijalankan bergenerasi-generasi sebelumnya. Masa sekarang ini, karakternya sudah terbentuk sehingga menjadi terlihat cepat. Hal ini hanya dapat diajarkan ketika pendidikan itu diberikan terus menerus. Kejujuran dan kedisiplinan sangat krusial untuk menghindari korupsi. Hal ini juga harus dilakukan untuk menjaga imej bangsa yang luhur.
Kelima hal tersebut merupakan prinsip hidup dan pembentukan karakter yang disampaikan turun temurun sebagai pegangan hidup Hien dan keluarga Tionghoa lain di Tulungagung. Merupakan harapan penulis agar kelima prinsip yang universal ini dapat diasosiasikan dengan kehidupan sehari-hari sehingga membentuk pribadi generasi muda Indonesia yang cerdas secara intelejensi, emosi dan sosial. Budaya Tionghoa ini bukanlah budaya asing, namun sudah menjadi warisan kita dan harus pula kita lestarikan seperti kita melestarikan budaya lokal lain di wilayah Indonesia. Menjalankan budaya ini tentu tidaklah mudah, harus bertahap dan reformatif.
Dengan latar belakang kekayaan filosofi dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, penulis yakin bahwa prinsip di atas dapat digunakan sebagai penguat pondasi norma dan nilai yang sudah ada di Indonesia. Dengan menerapkannya, tentu generasi muda akan lebih siap menghadapi era globaliasasi yang lebih luar biasa di tahun-tahun mendatang. Kita adalah pewaris yang sah budaya Indonesia yang beragam ini, haruslah kita mengangkat kepala kita dengan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang utuh. Dengan begitu kita kembalikan lagi kejayaan Indonesia yang berkarakter dan disegani dunia internasional. - Harian Sejarah
“Dedicated to the Honourable Interviewee: Mr. Tio Bo Hien
May your health be restored”
- C.
Reinhart, Surabaya, 13th January 2016
Sumber :
- Tio, Bo Hien. 2014. Wawancara tentang Karakter Utama yang Membuat Sukses Warga Tionghoa Tulungagung. Bertempat di Jalan Pahlawan, Tulungagung pada tanggal 2 Juni 2014.
0 Response to "Karakter Tionghoa Menghadapi Era Globalisasi"
Post a Comment