Kyai Said dan Politik Pembusukan NU
"Mereka ingin memadamkan cahaya Allah, tetapi Allah tidak menghendakinya, bahkan semakin menyempurnakan cahaya-Nya…”
***
Banyak dari umat islam unyu-unyu di Indonesia ini yang lebih menyukai bungkus luar. Berhadapan dengan seseorang bergelar habib langsung gemetar. Melihat orang berjubah, jenggotnya sampai dada, jidadnya hitam, dianggap orang suci. Simbol-simbol yang diambil dari agama atau kebudayaan lain, seperti jilbab, rosario, kubah, bulan sabit, disakral-sakralkan.
Sementara ketika bertemu kyai toleran, pakai batik, sarungan dan peci ke mana-mana, dianggap liberal dan disesat-sesatkan. Karena wajah mereka yang tidak ada arab-arabnya, logat mereka yang medok, keluarga mereka yang sangat Indonesia, lantas dengan mudah fitnah dihembuskan pada mereka.
Gusdur dimusuhi, keluarganya yang tidak berjilbab (hanya memakai kerudung) dicaci, masih pula difitnah selingkuh. Tapi dengan santai tuduhan itu dibiarkan. Nanti juga capek sendiri, kata Gusdur ringan. Gusdur memang tidak mau ambil pusing.
Hanya karena Gusdur tidak memakai gelar habib dan tidak berjubah, bukan berarti tidak islami. Siapa yang tidak kenal Mbah Hasyim Asy’ari? Masih meragukan nasabnya yang sampai pada Sunan Giri dan menyambung pada Rasulullah? Habib Jawa medok ini memang tidak menganggap penting gelar seperti itu. Namun membela Rizieq dan merendahkan Gusdur hanya karena nasab misalnya, adalah kekeliruan berpikir.
Setelah Gusdur tiada, pusaran fitnah yang sangat keras menerpa Kyai Said. Siapakah ulama yang dianggap syiah dan liberal ini?
Sebagaimana Gusdur, Kyai Said juga habib. Nasabnya menyambung pada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Tapi kenapa yang bersangkutan tidak heboh ke mana-mana pamer nasab? Karena yang suka pamer itu kelasnya anak kecil. Yang senang membangga-banggakan nama orang tua biasanya karena mereka tidak mempunyai prestasi yang membanggakan.
Sejak kecil ia hidup dalam didikan pesantren. Kemudian membuat pilihan mengejutkan dengan meneruskan studi ke Universitas Umm Al-qura, Arab Saudi. Sarang dari kelompok penyamun bernama Wahabi. Tapi kiai Said Aqil berkeyakinan, para pengajar di sana rata-rata dari Mesir. Saudi dan Mesir sama saja. Karena Saudi ketika itu (sampai sekarang) memang masih terbelakang dalam hal pemikiran.
Tidak hanya sekadar studi sekilas-lalu, Said Aqil menamatkan S1, S2 dan S3nya di sana. Dengan ilmu yang sangat mumpuni, Gusdur menyebutnya sebagai perpustakaan berjalan. Namun seperti ikan yang tak terpengaruh asinnya air laut, dagingnya tetap manis. Begitulah Said Aqil, ia dibesarkan oleh lingkungan Wahabi, tapi sekarang justru paling getol melawan aliran keras itu di Indonesia.
Akibatnya, simpatisan Wahabi yang mendapatkan kucuran dana petrodolar sangat membencinya. Ratusan situs, ribuan pembenci, memfitnahnya siang-malam. Muslim unyu-unyu yang tak paham apa-apa ikut mencaci dan menebarkan permusuhan. Serangan-serangan terhadap para kyai NU ini sejatinya adalah upaya pembusukan dari dalam.
Mereka tidak mungkin melakukan itu secara terbuka dengan identitas organisasi mereka. Karena itulah mereka menyaru, menyusup, dan menyebarkan bibit fitnah dari dalam. Orang-orang NU dipisahkan dari kyai-kyai mereka yang toleran. Saat mereka terhasut, para srigala berbulu domba ini akan mulai menerkam.
Karena NU adalah musuh terbesar mereka. Para ekstremis dan gerakan intoleran memahami betul, selama ada NU, selama itu pula mereka tak bisa bergerak leluasa. NU harus dihancurkan dari dalam. Mereka ingin memadamkan “cahaya” itu. Namun Tuhan semakin menyempurnakannya.
Habib-habib medok itu seolah-seolah terhapuskan nasabnya karena mereka membaur. Sebagian sengaja tak ingin diberi gelar demikian, padahal sangat layak menerimanya, seperti Quraish Shihab. Sikap merasa tak layak ini sejatinya muncul dari sifat rendah hati, bukan karena yang bersangkutan tidak pantas.
Habib dan sayid dua hal berbeda yang sering dicampur-adukkan di Indonesia. Padahal, ada juga yang dengan bangga mengobral gelar tersebut, meskipun masih dipertanyakan kualitasnya. Mereka mungkin sayid (keturunan Nabi), tapi belum tentu habib (sayid yang dicintai).
Salah satu fitnah yang kembali didaur-ulang adalah persoalan makelar tanah seminari di Malang, juga di Batam. Dengan tanpa rasa sungkan lagi, Kyai Said dituduh telah melakukan penipuan. Tidak saja melalui media online, tapi juga cetak. Konon pemilik media ini salah satu satu kader partai politik. Dengan tujuan merendahkan, Kyai Said disebut makelar. Fitnah dasarnya dari kebencian. Sedangkan benci tidak memiliki agama. Orang yang menyebarkan fitnah tidak perduli lagi dengan kaidah agama. Bagi mereka, dosa itu sesuatu yang asing dan tak layak dihitung.
Kyai Said telah membantah fitnah tersebut, tapi banyak yang telah termakan hasutan semacam itu. Dan mereka dengan bangga mengatas-namakan diri sebagai bagian dari NU. Sebagai bagian dari organisasi yang dipimpin oleh orang yang mereka caci. Lagipula orang-orang itu memang tak perduli dengan kebenaran. Mereka lebih suka meributkan asap daripada menyelidiki muasal apinya.
Said Aqil Siradj memang sosok yang serba mengejutkan. Semua itu berawal dari kiprah Gusdur. Bahkan lebih jauh, sebenarnya berawal dari maha guru mereka, Sayid Muhammad Al-Maliki. Jauh-jauh hari sang guru berpesan kepada Gusdur agar kelak mengangkat Said muda sebagai katib NU. Satu posisi yang biasanya diisi orang-orang tua, atau yang telah lama mengabdi di NU. Banyak yang protes, tapi Gusdur dengan santai membelanya. Said memang masih muda, tapi ilmunya sangat luas, soal tasawuf misalnya, ia memiliki seribu referensi.
Cak Nur (Nurcholis Majid) mengatakan, bahwa Said Aqil ini pernah ingin membuat buku yang isinya mengkritik pemikiran Algazali. Satu nama yang dianggap keramat di Indonesia. Dengan senang hati Cak Nur menanggapi hal itu. Untungnya buku itu tidak jadi diterbitkan. Bayangkan bagaimana hujatan yang akan ia terima jika hal itu diwujudkan. Berapa besar serangan yang akan ia terima. Bukan dari luar lagi, tapi dari dalam barisan yang dipimpinnya sendiri.
Said Aqil dianggap liberal. Pikiran-pikirannya mengguncang kebiasaan dalam tubuh NU. Konon di tahun 90-an ada trend Said-Aqilian menjangkiti para Nahdliyin muda. Tentu saja hal itu juga menimbulkan reaksi keras. Para pengkritik bahkan ingin agar gelar akademisnya dicabut. Tapi ia menjawab enteng, jangankan gelar akademis, gelar haji jika diminta akan ia berikan.
Kiai Said Aqil adalah fenomena mengejutkan. Seorang habib yang menanggalkan gelarnya. Seorang intelek yang diam saja ketika dihina oleh orang-orang dungu. Ia membiarkan dirinya dicaci dan difitnah hanya demi satu hal, agar orang-orang berpikir kritis dan waras. Atas nama toleransi beragama, ia membuat keputusan kontroversial, seperti berceramah di gereja, bersikap rahmah pada non-muslim. Tidak mengejutkan jika kemudian ia dicap syiah dan diliberalkan.
Maka benarlah Imam Syafii, “Carilah pemimpin yang banyak panah-panah fitnah menuju kepadanya, ikutlah mereka yang banyak difitnah, karena sesungguhnya mereka sedang berjuang di jalan yang benar.”
Oleh: Kajitow Elkayeni
Diunggah ulang dari halaman Instagram Ala NU : @ala_nu
0 Response to "Kyai Said dan Politik Pembusukan NU"
Post a Comment