Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno 1930



Harian SejarahKetika pecahnya emberontakan PKI pada tahun 1926, banyak para simpatisan dan elite politiknya melarikan diri ke luar negeri, serta sebagian diantaranya harus mendekam di Digul. Suasana sosial dan politik masih memanas di Hindia Belanda, meskipun PKI sudah habis, namun muncul gerakan anti kolonial baru yang dimotori oleh PNI. Gerakan tersebut dinilai memiliki tujuan yang sama seperti PKI, hanya saja pergerakan Perserikatan Nasional Indonesia atau PNI lebih terstruktur dan sistematis.

Tujuan tersebut sebenarnya dapat dikatakan sedikit berbeda, PKI menginginkan merebut kekuasaan sama seperti PNI, hanya saja tujuan PNI dinilai lebih Independen, yaitu "Indonesia Merdeka". berbeda dengan PKI yang ingin mendirikan negara Komunis yang sudah diperintahkan oleh Forum Komunis Internasional "Cominform."

Pada tahun 1928 PNI gencar melakukan propaganda nasionalisme mereka, mereka menyebut bahwa tahun tersebut sebagai tahun propaganda. Propaganda dilakukan secara sistematis dan mengerahkan pelbagai golongan yang tergabung dalam simpatisan PNI, dari golongan intelektual muda sampai rakyat kecil menyuarakan propaganda demi propaganda. Soekarno muncul sebagai penguasa podium dengan pidato-pidatonya yang membakar nasionalisme rakyat. PNI kemudian mendirikan sekolah-sekolah partikelir untuk kaderisasi pemuda-pemuda untuk pergerakan nasional dan merangkul masa tentunya.

Pada tahun 1929 PNI tumbuh menjadi organisasi politik dengan masa yang banyak dan terorganisasi hingga golongan masyarakat terbawah. PNI mulai melakukan pergerakan masa secara radikal, lantaran itu pula Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian mulai melakukan tindakan antisipasi dengan membubarkan setiap rapat dan pertemuan yang diadakan oleh PNI dan simpatisannya, kalaupun diadakan harus mendapatkan pengawasan dari pasukan bersenjata.

Pemerintah kolonial semakin khawatir dengan kondisi politik yang dibuat oleh pergerakan PNI. Diplomasi yang dilakukan PNI berhasil merangkul kekuatan-kekuatan politik nasional untuk menggalang persatuan, dari yang radikal hingga yang moderat, dari yang non kooperatif hingga yang kooperatif. PNI pun kemudian bersama organisasi-organisasi pergerakan politik lain seperti Partai Sosialis Indonesia, Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Paguyuban Pasundan, Jong Sumatranen Bond, Pemuda Kaum Betawi, dan Kelompok Studi Indonesia, mendirikan Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang didirikan dalam sebuah rapat di Bandung pada tanggal 17-18 Desember 1927.

Pembentukan PPPKI sangat membuat Belanda khawatir. Maka dari itu, untuk menghentikan gerakan PNI, Belanda menangkap para pemimpin PNI. Soekarno, Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda kemudian berhasil ditangkap dan dibawa ke penjara Bantjeuj di Bandung, Jawa Barat.

Penjara Soekarno di Bantjeuj di Bandung, Jawa Barat (Foto: Kompas)
Soekarno dan pemimpin PNI lainnya ditangkap pada akhir 1929, tepatnya 30 Desember 1929. Soekarno sendiri dipenjarakan disebuah tempat yang berukuran 1,5 x 2,5 meter. Soekarno sendiri sangat terisolasi di penjara, tidak tahu perkembangan dunia luar, dilarang membaca buku dan meneria informasi dari luar. Namun, berkat Inggit (istrinya), Soekarno dapat mengetahui sedikit perkembangan dunia luar, serta Inggit pula yang berhasil menyeludupkan buku bacaan untuk Soekarno. Soekarno pun menulis pledoinya yang terkenal dengan "Indonesia Menggugat" disana.

Sel itu tidak punya jendela dan jeruji. Tidak ada celah bagi cahaya luar untuk masuk. Lantainya semen dingin. Tempat tidurnya hanya papan kayu jati ukuran 45 cm. Sel itu gelap dan lembab. “Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan,” kata Sukarno dalam biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Pengadilan terus berjalan, namun ada yang menarik ketika Soekarno membacakan pledoinya (pidato pembelaan) pada 1 Desember 1930. Soekarno yang dinilai akan lemah dan terlecehkan dipengadilan, menjadikan pengadilan sebagai panggung politiknya. Ia membacakan pledoi yang berjudul "Indonesia Menggugat" di depan pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, pada tahun 1930, Isinya cukup menusuk para penjajah yang mendengarnya.

Indonesia Menggugat!

Indonesia Menggugat

Pergerakan tentu lahir Toh…diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat,- tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakan tenaganya, kalua ia sudah terlau sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa, walau cacing pun tentu begerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit! Seluruh riwayat dunia adalah riwayat golongan-golongan manusia atau bangsabangsa yang bergerak menghindarkan diri dari sesuatu keadaan yang celaka; seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert Spencer, adalah riwayat “reactief verzet van verdrukte elementen”! Kita ingat pergerakan Yesus Kristus dan agama Kristen yang menghindarkan rakyat-rakyat Yahudi daan rakyat-rakyat Lautan Tengah dari bawah kaki burung garuda Roma; kita ingat perjuangan rakyat Belanda yang menghindarkan diri dari bawah tindasan Sapnyol; kita ingat pergerakan-pergerakan demokrasi kewargaan (burgerlijke democratie) yang menghindarkan rakyat-rakyat Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dari tindasan autokrasi dan absolutisme, kita menjadi saksi atas hebatnya pergerakan-pergerakan sosialisme yang mau menggugurkan tahta kapitalisme; kita mengetahui pergerakan Mesir di bawah pimpinan Arabia dan Zaglul Pasha beserta pergerakan rakyat India di bawah pimpinan Tilak atau Gandhi melawan ketamakan asing; kita mengetahui perjuangan rakyat tiongkok menjatuhkan absolutisme Mancu dan melawan imperialisme Barat; kita telah bertahun-tahun melihat seluruh dunia Asia bergelora sebagai lautan mendidih menentang imperialisme asing, – tidaklah ini memang sudah terbawa oelh hakekat keadaan, tidaklah ini memang sudah terbawa oleh nafsu mempertahankan dan melindungi diri atau nafsu zelfbehoud yang ada pada tiap-tiap sesuatu yang bernyawa, tidaklah ini memang sudah “reactief verzet van verdrukte elemeten” itu? Rakyat Indonesia pun sekarang sejak 1908 sudah berbangkit; nafsu menyelamatkan diri sekarang sejak 1908 sudah menitis juga kepadanya!

Imperialisme modern yang mengaut-ngaut di Indonesia itu, imperialisme-modern yang menyebarkan kesengsaraan di mana-mana itu, – imperialisme-modern itu sudah menyinggung dan membangkitkan musuh-musuhnya sendiri. Raksasa Indonesia yang tadinya pingsan seolah-olah tak bernyawa, raksasa Indonesia itu sekarang sudah berdiri tegak dan sudah memasang tenaga! Saban kali ia mendapat hantaman, saban kali ia rebah, tetapi saban kali pula ia tegak kembali! Sebagai mempunyai kekuatan rahasia, sebagai mempunyai kekuatan penghidup, sebagai mempunyai aji-pancasona dan aji candrabirawa, ia tidak bisa dibunuh dan malah makin lama makin tak terbilang pengikutnya! Amoi, – di manakah kekuatan duniawi yang bisa, memadamkan semangat suatu bangsa, dimanakah kekuatan duniawi yang bisa menahan bangkitnya suatu rakyat yang mencari hidup, dimanakah kekuatan duniawi yang bisa membendung banjir yang digerakkan oleh tenaga-tenaga pergaulan hidup sendiri! Di manakah kebenaran jeritan anggota-anggota dan sahabat-sahabat imperialisme yang mengatakan ini ialah bikinan beberapa kaum “penghasut”, yakni kaum “opruiers”, kaum “raddraaiers”, kaum ophitsers” dan lain sebagainya dan yang oleh karenanya sama mengira bahwa pergerakan itu bisa dibunuh kalau “penghasutnya” semua dimasukkan bui, dibuang atau digantung? Puluhan, ratusan, ya, ribuan “penghasutnya” “opruiers” dan “ophitsers” sudah dibui atau dibuang, – tetapi adakah pergerakan itu berhenti, adakah pergerakan itu mundur, tidaklah pergerakan yang umurnya baru ± 20 tahun itu malahan semakin menjadi besar dan semakin menjadi umum?

“Man tötet den Geist nicht”, begitulah Freiligrath menyairkan, – “Orang tak bisa membunuh semangat”! Di dalam tahun 1900, yakni sebelum di sini ada “ophitsers”, sebelum di sini ada “raddraaiers”, Ir. Van Kol sudang mendengungkan peringatannya di dalam Tweede Kamer demikian : “Teruslah….. sampai sekali waktu tiba akhirnya; sekali waktu, siapa tahu entah kapan, pasti meledak kekuatan rahasia” Dan sesungguhnya, “kekuatan rahasia” itu sudah meledak! Seluruh dunia sekarang melihat bangkit dan bergeraknya kekuatan rahasia itu! Seluruh dunia yang tidak sengaja menbuta-tuli, mengertilah, bahwa kekuatan rahasia itu buka bikinan manusia, tetapi bikinan pergaulan hidup yang mau mengobati diri sendiri. Seluruh dunia yang tulus hati mengertilah, bahwa pergerakan ini ialah antithese imperialisme yang terbikin oleh imperialisme sendiri. Bukan bikinan “penghasut”, bukan bikinan “opruiers”, bukan bikinan “raddaaiers”, bukan bikinan “ophitsers”- pergerakan ini ialah bikinan kesengsaraan dan kemelaratan rakyat!

Ir. Albarda di dalam Tweede Kamer memperingatkan : “Diantara mereka, yang berkewajiban atau merasa wajib membicarakan peristiwa-peristiwa zaman di muka umum, ada yang senang menggambarkan pergerakan Bumiputera dan perkembangannya sebagai hasil fikiran-fikiran revolusioner Barat dan yang mengira bahwa pergerakan itu bisa ditindas dengan jalan menghadapinya dengan kebijaksanaan pemerintah yang keras dengan mengerahkan polisi dan justisi melawan propaganda-propagandanya. Pemandangan dan taktik yang demikian itu sangat dangkal dan menunjukan bahwa mereka tidak punya pengertian sejarah dan tidak punya pengertian politik…..Pergerakan yang demikian itu terlahir dari keadaan-keadaan masyarakat dan dari perubahan-perubahan yang dialaminya. Pergerakan demikian itu juga akan lahir dan juga akan tumbuh, meskipun tidak pernah seorang Eropa yang revolusioner menjejakkan kakinya di Hindia. Pergerakan demikian itu, tumbuh terus, meskipun semua pemimpin dan propagandanya dibasmi. Seperti juga dalam abad ke-16 pergerakan kerkhevorming tidak berhenti dengan memburu-buru kaum bi’dah, seperti juga dalam abad ke-19 demokrasi-sosial tidak bisa dihancurkan oleh politik penindasan dengan kekerasan oleh Bismarck, begitu pula dalam abad ke-20 pergerakan Bumiputera tidak bisa didorong ke belakang, bahkan tidak bisa diberhentikan oleh kebijaksanaan pemerintah yang reaksioner. Pergerakan itu tumbuh terus dan tidak usah diragu-ragukan, bahwa ia akan mencapai cita-citanya, yakni memerdekakan penduduk Hindia dari penjajah asing!……”

Tuan-tuan Hakim barangkali berkata, “O, itu pemandangan kaum sosialis!” Jika demikian, marilah kita dengarkan Dr. Kraemer, seorang yang bukan sosialis, menulis dalam Koloniale Studien” “Di sinilah juga letaknya keterangan, mengapa orang salah sangka sama sekali, apabila orang menyangka, bahwa apa yang disebut kebangunan dunia Timur itu, atau di dalam lingkungan kita sendiri: pergerakan Bumiputera itu, hanya menjadi soal suatu lapisan intelektual yang tipis dan jumlahnya sangat kecil. Mau tidak mau “rakyat murba yang diam itu” juga ikut mendidih dalam kancah pergolakan itu”, dan Prof. Snouck Hurgronje, yang juga bukan kaum dogma, yang toh juga bukan kaum pembuta tuli mengikuti sesuatu kepercayaan, tempo hari berkata : “Sumbernya” ….. dulu dan sekarang, bukan pemupukan beberapa ribu kaum intelektual, yang terlampau banyak mendapat pendidikan Barat dan tidak bisa ditampung oleh masyarakat Bumiputera, tapi rasa perlawanan di mana-mana terhadap penjajah oleh orang-orang dari bangsa lain, rasa perlawanan yang kadang-kadang tampak keluar dan kadang-kadang tinggal terbenam………” Bahwasanya, matahari bukan terbit karena ayam jantan berkokok, ayam jantan berkokok karena matahari terbit!

Dan dengan sedikit perubahan, maka kami di sini, bagi kaum-kaum yang masih saja mengira bahwa pergerakan itu bikinan “penghasut”, mengobarkan lagi api pidato Jean Jaures, kampiun buruh Prancis yang termashus itu, di dalam dewan rakyat Prancis terhadap wakil-wakil kaum modal : “Ah, Tuan-tuan, alangkah anehnya Tuan-tuan sampai tersilaukan mata, dan mengatakan bahwa evolusi universal ini terjadi karena perbuatan beberapa orang saja! Tidaklah terkena hati Tuan-tuan oleh luasnya pergerakan kebangsaan sehingga terdapat di seluruh muka bumi? Di mana-mana, di semua negeri yang tidak merdeka, ia mucul pada waktu yang sama, semenjak sepuluh tahun kemudian ini, tidak mungkin lagi menggambarkan sejarah Mesir, India, Tiongkok, Filipina dan Indonesia dengan tidak juga menceritakan riwayat pergerakan nasional.

Dan di hadapan pergerakan umum yang menghela rakyat-rakyat Asia ini, rakyat-rakyat yang sangat berbeda satu sama lain, dalam iklim mana pun mereka itu hidup, termasuk bangsa apa pun mereka itu, – di hadapan pergerakan yang demikian itulah Tuan-tuan bicara tentang beberapa orang penghasut yang bertindak sendiri-sendiri. Tapi dengan menuduh seperti itu Tuan-tuan terlalu memberi penghormatan kepada orang-orang yang Tuan tuduh, Tuan-tuan menganggap terlalu berkuasa orang-orang yang Tuan-tuan sebut penghasut itu. Bukanlah pekerjaan mereka sendiri meletuskan pergerakan yang demikian hebatnya; tarikan nafas lemah dari beberapa mulut manusia tidak cukup untuk meletuskan tofan bangsa-bangsa Asia ini! Tidak, Tuan-tuan, yang sebenarnya ialah: pergerakan ini timbul dari pusat kejadian-kejadian sendiri; ia timbul dari penderitaan-penderitaan yang tidak terhitung banyaknya dan sampai sekarang tidak menghubungkan diri satu sama lain, tapi mendapatkan kata semboyannya dalam semboyan menyerukan merdeka. Yang sebenarnya ialah, bahwa juga di Indonesia pergerakan nasional itu terlahir dari imperialisme yang di dewa-dewakan oleh Tuan dan tidak kurang-kurangnya dari system drainage ekonomi yang semenanjak berabad-abad bekerja di negeri itu……Imperialisme itulah penghasut yang besar, imperialisme itulah penjahat besar yang menyuruh berontak : karena itu bawaalah imperialisme itu ke depan polisi dan hakimi!” Benar sekali! “Bawalah imperialisme itu ke depan polisi dan hakimi!"
Toh…… bukan imperialisme, bukan anggota-anggota imperialisme, bukan sahabat-sahabat imperialisme, bukan Treub, bukan Trip, bukan Colijn, bukan Bruineman, bukan Fruin, bukan Ali Musa, bukan Wormser, yang kini berada di muka mahkamah Tuan-tuan Hakim, – tetapi kami: Gatot Mangkoepradja Maskoen, Soepriadinata, Sukarno! Apa boleh buat, biarlah nasib pemimpin begitu! Kami tidak merasa salah. Kami merasa bersih, kami tidak merasa melanggar hal-hal yang dituduhkan, sebagai nanti akan lebih jelas kami terangkan. Kami oleh karena itu, memang mengharap-harap dan menunggu-nunggu Tuan-tuan punya putusan bebas, mengharap-harap moga-moga Tuantuan mengambil keputusan vrijspraak adanya!

Tetapi, Tuan-tuan Hakim, marilah kami melanjutkan punya pidato pembelaan. “ratu Adil”, Heru Cakra”, dan lain sebagainya Pergerakan rakyat Indonesia bukanlah bikinan kaum “penghasut”. Juga sebelum ada “penghasut itu, juga sonder ada “penghasut” itu, udara Indonesia sudah penuh dengan hawa kesedihan merasakan kesengsaraan dan oleh karenanya, penuh pula dengan hawa keinginan menghidarkan diri dari kesengsaraan itu. Sejak berpuluh-puluh tahun udara Indonesia sudah penuh dengan hawa-hawa yang demikian itu. Sejak berpuluhpuluh tahun rakyat Indonesia itu hatinya selalu mengeluh, hatinya selalu menangis menunggu-nunggu datangnya wahyu yang akan menyalakan api pengharapan didalamnya, menunggu-nunggu datangnya mantram yang bisa menyanggupkan sesuap nasi dan sepotong ikan dan sepotong kain kepadanya.

Haraplah fikiran, Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu Adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat, – apakah sebabnya seringkali kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu telah muncul seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”, atau turunan seorang Wali-sanga. Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu, tak berhenti-hentinya, tak habi-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan datang pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak berhenti-hentinya pula saban jam, saban. Menit, saban detik, menunggu-nunggu dan mengharapharap : “kapan, kapankah matahari terbit?” O, siapa yang mengerti akan sebab-sebab yang lebih dalam ini, siapa yang mengerti akan diepere onderground dari kepercayaan rakyat ini

Sebagaimana yang diterangkan pula oleh Prof. Snouck Hurgronje di dalam brosurnya “Vergeten Jubiles” , tentu sedih dan ikut menangislah hatinya, kalau ia saban kali mendengar suara rakyat meratap : “kapan, kapankah Ratu Adil datang?”- tentu sedih dan menangislah hatinya pula dan tidak tertawa, jikalau ia saban kali melihat lekasnya dan setianya rakyat meyerahkan diri ke dalam tangan seorang kiai atau dukun yang menyebutkan diri “Heru Ckra” atau “Ratu Adil “! “Selama kaum intelek Bumiputera belum bisa mengemukakan keberatn-keberatan bangsanya, maka” Perbuatan-perbuatan yang mendahsayatkan” itu (yakni pemberontakan, Sk.) adalah peledakan yang sewajarnya dari kemarahan yang disimpan-simpan dan perlawanan yang ditekan-tekan terhadap usaha yang bodoh untuk memerintah rakyat dengan tidak memperhatikan dengan sunggu-sungguh keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentinagan mereka dan membikinnya jadi pedoman.

Sebagaimana sekarang golongan-golongan besar dari bangsa Bumiputera senantiasa bersedia untuk dengan terus terang memihak kepada salah seorang intelektual bangsanya sendiri, yang dirasanya memperjuangkan kepentingannya, meskipun mereka itu “belum matang” untuk mengerti semua teori-teorinya, demikianlah mereka seringkali suka mengikuti pemimpin pemimpin yang menjanjikan kepada mereka kemerdekaan yang bisa diperoleh dengan jalan rahasia dan dengan cara-cara rahasia, atau yang dengan cara sembunyi mengerahkan tentara untuk perang sabil dengan kaum kafir, bilamana ada kesempatan baik. Bahwa percobaan-percobaan yang demikian itu sia-sia saja, karena alat-alat untuk membuka jalan sama sekali tidak cukup, mereka tidak mengerti, dan demikianlah mereka menganggap setiap orang yang menjanjikan kepada mereka Ratu Adil , atau Mahdi atau pemerintah yang adil, adalah Nabi. Syarat-syarat hidup yang perlu, yang menurut perasaannya tidak diberikan kepadanya oleh alam, oleh jalannya keadaan yang biasa, atau oleh penjajah asing, mereka coba mencapainya dengan jalan gaib yang luar biasa… dengan kepercayaan akan mendapat pertolongan Tuhan,” begitulah kata Prof. Snouck Hurgronje.

Dan sebagaimana sang kiai atau sang dukun itu bukan pembikin dari kepercayaan umum dan harapan umum atas kedatangan Ratu Adil Atau Heru Cakra itu, sebagaimana mereka mendapat pengaruh itu ialah, hanya oleh karena rakyat umum hatinya memang menangis mendoa-doa dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil atau Heru Cakra itu, maka kami yang disebut “penghasut” bukanlah pula pembikin pergerakan rakyat sekarang ini dan bukanlah pula pengaruh kami itu terjadinya ialah oleh karena licinnya kami punya lidah atau tajamnya kami punya pena. Pengerakan rakyat adalah bikinan kesengsaraan rakyat, pengaruh kami di atas rakyat adalah pula bikinan kesengsaraa rakyat! Kami hanyalah menunjukan jalan; kami hanyalah mencarikan bagian-bagian yang rata dan datar untuk aliran-aliran yang makin mmembanjiritu; – kami hanyalah menunjukan tempat-tempat yang harus dilalui oleh banjir itu, agar supaya itu bisa dengan sesempurna-sesempurnanya mencapai Luatan Keselamatan dan Lautan Kebesaran adanya….

Sumber : Cuplikan dari Buku Indonesia Menggugat

Inti dari pidato itu adalah; " Pergerakan, pemberontakan, dan lain sebagai macamnya terlahir bukan karena hasutan kaum intelektual. Pergerakan lahir adalah alamiah karena penderitaan rakyat yang tak tertahankan."

Akhirnya  Soekarno bersama tiga rekannya, yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata. dihukum penjara selama 4 tahun.

0 Response to "Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno 1930"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel