Masa Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) 1830-1870
Latar belakang penerapan Cultuur Stelsel yang merupakan serangkaian dari kebijakan Pemerintah Hindia Belanda diawali oleh ketidaksenangan kalangan bangsawan di Negeri Belanda (Eropa) terhadap cara-cara liberal yang diberlakukan di wilayah kolonial, hal ini di dukung dengan kemenangan golongan konservatif di Parlemen Belanda yang menginginkan cara lama yaitu penerapan politik Batig Slot ( eksploitasi skala besar) terhadap wilayah koloni.
Parlemen beralasan bahwa Kerajaan Belanda membutuhkan anggara untuk menutupi kekosongan kas kerajaan yang habis akibat membiayai Perang Diponegoro dan Paderi dalam upaya Politik Pax Netherlandica.
Usulan kemudian datang dari Van den Bosch (1829), “ Untuk mengisi kas negara yang kosong dapat dilakukan dengan pemberlakuan kebijakan tanam paksa dengan menanam tanaman eskpor secara besar-besaran yang laku di pasar Eropa.”
Selain itu ada usul lain dari Du Bus de Gisignies yang mengusulkan untuk kembali pada cara-cara liberal dengan menyewakan tanah kepada pihak swasta, ide ini sontak ditentang oleh Parlemen yang dikuasai golongan Konservatif yang anti cara liberalisme dan kemudian lebih menyetujui cara Van den Bosch yang sejalan dengan Politik Batig Slot. Kemudian Van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1830-1834)
Jenis Komoditi Tanam Paksa
- Tebu
- Kopi
- Teh
- Tembakau
- Cokelat
- Kina
- Nila atau Indigo
- Kelapa Sawit
Teori Tata Cara Tanam Paksa :
- 1/5 tanah milik petani ditanami tanaman eskpor, 1/5 lainnya untuk tanaman petani sendiri.
- Tanah yang ditanami tanaman eskpor bebas pajak
- Jam kerja petani untuk mengurusi tanaman eskpor tidak melebih waktu kerja petani untuk mengurus tanahnya sendiri
- Apabila hasil tanam paksa melebihi kuota yang ditargetkan, maka kelebihannya untuk petani
- Rusak atau gagal panen tanaman eskpor ditanggung oleh pemerintah
- Penduduk yang bukan petani wajib kerja di perkebunan pemerintah selama 1/5 tahun
- Penduduk bekerja dibawah pimpinan lurah dan pengawas dari pemerintah kolonial
Praktek atau Kenyataanya :
- Bukan 1/5 melainkan seluruh tanah petani untuk ditanami tanaman ekspor
- Seluruh tanah dibebankan pajak
- Jam kerja petani lebih banyak dihabiskan untuk tanaman dan kebun pemetintah
- Kelebihan panen tidak dikembalikan dan ditambahkan pajak juga
- Gagal panen dan kerusakan ditanggung oleh petani
- Waktu wajib kerja diperkebunan melebihi 1/5 tahun
- Bagi pejabat lurah atau bupati akan mendapatkan Cultuur Procenten (bonus) jika daerahnya bisa melebihi kuota ekspor, sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan bupati kepada petani karena ingin mendapatkan Cultuur Procenten.
Pembabakan Masa Tanam Paksa
- 1830-1850 : Eksploitasi besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Pada masa ini NHM menjadi perusahaan negara yang paling kaya di Eropa dengan kekayaan 848 Juta Gulden, dua kali kekayaan VOC dalam satu tahun.
- 1850-1870 : Kemunduran yang disebabkan oleh tekanan politik dari dalam Negeri Belanda sendiri. Petani-petani mulai meninggalkan tanah-tanah mereka dan mulai merampok perkebunan-perkebunan pemerintah karena kesengsaraan petani-petani tersebut. Perkembangan Revolusi Industri dan Kapitalisme di Eropa yang menyebabkan cara-cara monopoli harus ditinggalkan.
Akibat-akibat Tanam Paksa
Akibat dari tanam paksa antara lain diversifikasi pertanian yang menyebabkan pengenalan jenis-jenis tanaman baru disertai dengan mekanisasi alat-alat pertanian. Selain itu tak dapat dipungkiri bahwa Tanam Paksa membawa kesengsaraan dan kelaparan bagi penduduk pribumi, hal ini disertai kelaparan di daerah-daerah Jawa seperti Grobogan, Semarang, Demak, dan Pati.
Tanam Paksa akhirnya berakhir pasca kemenangan golongan Liberal menguasai Parlemen Belanda yang menghapuskan Tanam Paksa dan mengedepankan liberalisasi ekonomi.
Hal ini diikuti dengan pengeluarannya undang-undang baru seperti Swiker Wet (UU Gula) 1864, Comptabiliteit Wet 1848 yang memuat tata penyusunan anggaran, Agarische Wet (UU Agraris) yang memberikan kesempatan swasta untuk menyewa tanah, dan mengganti sistem Batig Slot dengan Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy) yang membuka Hindia Belanda untuk investasi swasta.
Kritik sosial turut berperan dalam upaya penghapusan tanam paksa yang di pelopori oleh cendikiawan antara lain Mutten de Waal dan Douwes Dekker atau Multatulis yang menulis Max Havelar yang memuat kecurangan Belanda dalam perdagangan gula di Lebak.
0 Response to "Masa Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) 1830-1870"
Post a Comment