Pandangan Tirto Adhi Soerjo Terhadap Sekolah Dokter dan Sekolah Hakim di Hindia Belanda

Pandangan Tirto Adhi Soerjo

Dalam surat mingguan Jong Indie, tuan Zaalberg Hoofd,  Redacteur Bataviaasch Nieuwsblad sudah ajak bangsanya Indo Europeaan beramai-ramai bermohon pada staten Generaal mudah-mudahan sekolahan-sekolahan dokter dan hakim dibuka buat bangsa Europa.

Sudah lama surat kabar bataviaasch Nieuwsblad menambur pembukaannya sekolahan dokter itu buat bukan anak negri, dan tuan Colijn yang baru ini diangkat jadi lid Staten Generaal sudah membicarakan keperluannya sekolahan hakim dibuka buat bangsa Europa, karena ini maka tuan Zaalberg berseru dalam Jong Indie seperti yang sudah diceritakan di atas.

Jikalau di Hindia ini rakyat dari berjenis-jenis bangsa dan agama itu sama rata haknya maka tak mengapalah dua jenis sekolahan itu dibuka buat segala bangsa tetapi betapakah sekarang dimana hak bangsa yang terperintah ada jauh berbeda dengan bangsa yang memerintah meski banyak antara bangsa yang kemudian ini bersanak dengan bangsa yang terperintah.

Sekolah Hakim Hindia Belanda
Gedung Sekolah Hakim di Batavia, sekarang Gedung Kementerian Pertahanan RI (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen)
Waktu sekolahan hakim hendak dibuka maka riuh suara pers Belanda mencela maksud itu, dengan nyata menyatakan bahwa anak negri susah ketempatan dua sifatnya hakim yang bijaksana yakni onpartijdigheid dan zeltstandigheid. Untung sekali yang segala obrolannya pers Belanda itu tidak dipakai oleh pemerintah sehingga dibukalah sekolahan hakim itu.

Antara beberapa kaslempangan ada disebut juga bahwa anak negri yang tidak bisa tamat pelajarannya dari sekolahan hakim nanti akan jadi pokroel bambu. Juga ini sudah dibantah karena anak negri yang sopan ada merasa terhina akan melakukan pekerjaan yang sia-sia itu, sedang antara lepasan jaksa atau priyayi, boleh dibilang tidak ada yang melakukan pekerjaan itu.

Barangkali tuan Colijn sudah merasa perlu sekolahan tersebut dibuka buat bangsa Europa terutama bangsa Indo, karena didalam pekerjaan kehakiman ada didapat beberapa banyak bangsa Europa yang tidak bergelar ahli hukum, seperti klerk-klerk dan griffier begitu pula posthouder, dll. Pekerjaan griffier yang bukan ahli hukum ini kemudian akan dijabat oleh murid sekolahan hakim yang lainnya dalam keadilan belum dirasa cukup, kalau pangkat ini boleh dijabat oleh anak negri mengapa tidak oleh bangsa Europa yang setara pelajarannya. Memang itu nyata, tetapi orang lupa sepandai-pandainya bangsa Europa tentang adat dan bahasa kami, walau Indopun, masih belum begitu sempurna seperti bangsa kita sendiri. Lagipula maksudnya mengadakan ahli hukum anak negri itu tidak lain, lain daripada hal yang barusan disebut, melainkan hendak menyerahkan pengadilan untuk anak negri pada anak negri, lain daripada cara begitu didapat pengadilan yang adil juga ongkos pengadilan supaya jadi lebih ringan.

Betapa sekarang jika Indo jadi hakim yang pengajarannya hanya lebih rendah dari hakim Europa biasa, cara ini didapat hakim Europa no. 2 atau klas 2.

Sedang dengan hakim Europa klas 1, keadaan pengadilan masih belum beres apalagi dengan hakim klas 2. Begitu juga dengan dokter. Dokter Europa keluaran dari sekolahan dokter di sini ada lebih rendah hal pengetahuannya dengan dokter Europa keluaran sekolahan tinggi jadinya hendak diperoleh dokter Europa klas 2.

Sekolah Dokter Jawa
Geduang Sekolah Kedokteran STOVIA (Foto/kitlv.nl)
Buat orang kecil bangsa Europa disini boleh jadi ada baiknya, tetapi buat anak negri sekali-kali tidak ada kebaikannya dan tidak menjadikan sebab anak negri kebanyakan semakin menaruh kepercayaan pada kedokteran.

Apa keluaran dari sekolahan tinggi apa keluaran dari sekolahan rendah buat anak negri kebanyakan akan satu dokter atau hakim Europa sama saja yang dilihat cuma bangsanya saja.

Beberapa perkara terutama perkara sipil sudah ditutup dan berapa banyak orang sakit tidak minta pertolongan dokter, jika perkara dan pertolongan itu mesti dikerjakan oleh hakim atau dokter Europa, karena melainkan dari kurang percaya karena berlainan adat dan bahasa akan tidak menyebut agama, dan juga karena mahalnya ongkos melainkan jika ada penolong yang juga perlu menggunakan ongkos itulah boleh kejadian.

Lain pada ini, jika dokter dan hakim kita dari sekolahan dokter dan hakim kita bisa disaingi dengan dokter dan hakim lain bangsa yang setara pelajarannya, apakah kita anak negri tidak akan kalah!

Dalam rupa-rupa hal, ini sudah terbukti.

Dan dalam hal dokter dan hakim kita disaingi oleh dokter dan hakim lain bangsa yang sepengajaran itu maka anak negri kebanyakan yang jadi angkanya rekening.

Orang kata setarakan sekolahan dua jenis itu dengan sekolahan tinggi dan terima segala bangsa, tetapi tak seorang pun yang dapat masuk prodeo.

Apakah Gouvernement kita tidak akan merugikan Nederland dengan cara begitu, dan adanya ini bukan jadi halangan apakah Gouvernement sanggup dan bisa memberi hak-hak yang setara, tidak bukan.

Karena itu tutuplah pintu sekolahan dua jenis itu akan bangsa Europa, dan kita percaya yang semua kanjeng Bupati akan melawan pembukaannya sekolahan dua jenis itu akan bangsa Europa.

Kita punya pendapatan akan supaya dua jenis sekolahan itu tinggal jadi sekolahan kita, maka perlu juga sekolahan dokter yang sangat mahal ongkosnya itu tidak pula dijadikan sekolahan prodeo, hanya diatur jadi sekolahan bayaran sebagai juga sekolah hakim dan sekolahan priyayi itu sedang sri paduka yang dipertuan Besar Gouverneur Generaal ada diberi kekuasaan akan menerima juga murid yang tidak membayar sekolah seperti satu gunst bagi si ayah yang tidak membayar atau sudah tidak ada yang telah kenyataan ada pulanya bagai daulat Gouvernement.

Cara demikian tidak didapat irian antara anak negri sebagai adanya sekarang, terutama seorang dokter, dokter anak negri sudah dapat naik gaji dari f 150 sampai f 250, sedang priyayi pada golongan lain terutama priyayi B.B. yang membayar ongkos sekolah masih juga belum dinaikkan gajinya.

Naikanlah gaji priyayi B.B. dan pungutlah pembayaran sekolahan priyayi lebih dari biasa, pungut pulalah pembayaran sekolahan dokter, cara demikian maka orang kecil dikurangkan pukulannya, ya, orang kecil yang diwajibkan juga memikul belanja sekolahan desanya.

(Tirto Adhi Soerjo)

Medan Prijaji, Sabtu 8 Januari 1910.

0 Response to "Pandangan Tirto Adhi Soerjo Terhadap Sekolah Dokter dan Sekolah Hakim di Hindia Belanda"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel