Suara-suara Skripsi
“Kau ini payah sekali, mengerjakan hal mudah begini saja tidak becus. Silahkan keluar.” Dengan nada tinggi lelaki baya itu mengusirku dari ruangannya.
Hati kecilku berbisik pelan bila aku tidak perlu menangis. Aku berjalan dengan langkah lemas dari pintu ruangan itu, dengan suara hati yang bergeming meletuskan sumpah serapah.
Kekecewaan yang tumbuh dan mekar memenuhi relung sukma, membuat aku berpikir keras untuk sebuah kelogikaan yang ada. Aku tak menyangka jika hal seperti ini harus terjadi dan harus kunikmati dalam hidupku yang seharusnya menikmati masa mudaku yang manis dalam berkarya.
Langkah kakiku yang berjalan tanpa tujuan membawaku ke kantin kampus. Dengan pikiran yang terbang entah ke mana aku menyandarkan tubuhku yang lemah di kursi pelastik. Kutarik sebatang rokok dari bungkusnya yang putih kemerahan dan berisi peringatan yang mengerikan pada gambarnya. Saat aku hendak menyulutkan api, Rahmad datang membawa segelas kopi yang kupesan.
“Sepertinya kau punya masalah berat, Wir?” Sapa Rahmad membuka cerita.
“Apa kau tak pusing memikirkan skripsimu, Mad?” Tanyaku membalas.
“Ah, aku sama sekali tidak memikirkannya. Bagiku itu tidak terlalu penting ketimbang uang.” Jawab Rahmad bernada datar.
Aku menatap wajah rileksnya lamat-lamat. Sepasang bola mata yang dimilikinya tidak menyatakan kalau ia berbohong.
“Maksudmu?” Tanyaku penuh dengan keheranan.
“Aku telah menyuruh orang untuk membuatnya.” Bisiknya.
“Apa ini sebuah lelucon?” Aku memastikan.
Perlahan bibirnya yang hitam menerbitkan senyum dan melahirkan tawa yang sebenarnya tidak enak untuk di dengar.
“Tentu saja, tidak, Wir! Ini sangat serius. Dan kau mau tahu siapa yang membuatkannya untukku?”
“Siapa?” Tanyaku kian penuh dengan rasa penasaran.
Rahmad memalingkan wajahnya sambil tertawa. Berusaha membakar rasa penasaranku.
“Ah, kau tak akan percaya dengan apa yang akan kukatakan padamu. Percayalah!” Matanya menyorotkan pandangan yang sungguh tak enak untuk dipandang.
“Hei… kau tak akan mungkin berkhayal jika dosen yang membuatkannya, bukan?” Aku berusaha mematahkan misteri yang akan dipecahkannya.
“Apa yang tidak mungkin jika dengan uang, Wir. Semua manusia membutuhkan uang. Terutama di saat ekonomi tengah sulit seperti ini, dan kebutuhan kian banyak dan kian mahal saja.” Cetusnya dengan tawa yang sungguh menyedihkan.
Aku diam sejenak. Coba memikirkan apa yang baru saja aku dengar.
“Boleh sekarang aku tahu, siapa dosen yang membuatkan skripsi untukmu itu?” Tanyaku dengan nada yang nyaris tak terdengar.
Rahmad menatapku penuh curiga. Wajahnya berubah memerah. Seperti menahan tawa.
“Kau tidak akan mengatakan bila kau ingin menempah skripsi juga, bukan? Atau kau malah ingin coba untuk membocorkan hal ini kepada mahasiswa lain?”
“Hah, kau tidak perlu berpikir semacam itu kawan. Aku hanya ingin tahu. Itu saja. Tidak lebih.” Ucapku berusaha tenang.
“Dengan uang lima juta kau bisa menempahnya kepada dosen killer di kampus kita ini, Wira. Bapak Yusra kesayangan kau itu, Wir.” Rahmad memandangku seperti tatapan kuntilanak yang lapar. Juga suara tawanya yang perlahan demi perlahan menghilang di gelapan malam. Ya, menghilang. Menghilang demi membuatkan pesanan lainnya yang telah lama menunggu.
Mendengar pengakuan Rahmad, rasanya aku ingin segera terbang membawa segenggam berlian untuk kulemparkan ke wajah dosen killer yang menjadi pembimbingku itu.
“Dasar!” Umpatku dalam hati
***
“Kau ini benar-benar mahasiswa yang payah, Wira. Sangat payah.” Ungkap dosen pembimbingku berhiaskan tawa mengolok di ujungnya.
“Kenapa harus diperhalus, Pak. Kenapa tidak menggunakan kata bodoh saja? Bukankah itu bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut KKBI?” Aku menanggapi dengan nada yang meninggi.
“Apa maksudmu bebicara begitu?” Pak Yusra menatapku dengan mata yang membulat.
“Ya. Maksud saya, siapa yang payah? Bukankah seharusnya tugas Bapak di sini adalah untuk membimbing mahasiswa Bapak agar sukses melakukan penelitian, dan bukan hanya untuk menyalahkan atau malah mengecap mahasiswa Bapak sebagai mahasiswa yang payah dengan kata yang dimaksudkan sebenarnya adalah manusia bodoh?” Aku memberanikan diri untuk mengatakan hal yang sebenarnya telah lama ada dikepala dan hatiku. Untuk sebuah kebenaran yang mungkin disetujui oleh mahasiswa-mahasiswa lain yang sepemikiran atau sependeritaan denganku.
“Lancang sekali kamu mengatakan hal itu kepada saya. Kamu tidak mengenal saya, hah?” kali ini nada Pak Yusra mengeras dan bola matanya kian membulat sempurna layaknya tatapan seekor macan yang hendak menerkam mangsanya.
“Tentu saja. Tentu saja aku mengenal Bapak. Siapa pula orang yang tak mengenal dosen bergelar doktor dengan nama yang begitu menawan, Yusra Khairul Amrun yang terkenal dengan prestasi gemilangnya dalam dunia pendidikan. Tetapi hilang harga dirinya hanya karena uang lima juta dari mahasiswanya.” Aku merasakan kelegaan saat aku menghabiskan seluruh isi yang telah lama tersimpan di hatiku. Tak dapat terungkap oleh kekata apapun untuk mengibaratkannya.
Dengan wajah merah membara Pak Yusra mengayunkan tangannya untuk menamparku. Tetapi dengan sigap aku mengelak dan bersikap siap untuk hal lain yang tak dapat kuduga setelahnya.
“Inikah sosok dosen yang dibanggakan oleh dosen-dosen lain itu? Dosen yang terkenal dengan pendidikannya yang tinggi serta karya-karya ilmiahnya yang mampu membuat orang lain di luar sana mengerti bahwa pendidikan adalah hal penting yang harus dikembangkan banyak orang dengan sikap yang sejujur-jujurnyanya? Aku rasa mereka salah menilai orang semacam Bapak. Bapak bukan contoh teladan dan sama sekali bukan orang yang dapat menjadi panutan dalam dunia pendidikan terutama bagi kami yang masih mahasiswa ini.”
“Mungkin Bapak akan menggunakan kursi Bapak untuk membuatku harus keluar dari kampus ini secara tidak hormat. Tetapi, apakah Bapak sadar akan satu hal? Jika kami para mahasiswa didoktrin dengan hal yang menjerumuskan moral kami, lalu bagaimana dengan nasib bangsa ini yang sesungguhnya ada di tangan kami. Para pemuda-pemudi Indonesia yang sesungguhnya telah lama rusak moral dan harkat martabatnya karena orang-orang semacam Bapak.” Aku menghela napas panjang di ujung kalimat yang sebenarnya sama sekali tidak aku mengerti.
Aku merapikan bajuku, dan meraih skripsi penuh coretan yang masih tergeletak di atas meja Pak Yusra.
“Kali ini Bapak tak perlu repot-repot menyuruh saya keluar. Terimakasih atas pelajaran berharga ini, Pak. Semoga Tuhan melindungi keluarga Bapak.”
Aku melangkah dengan perasaan yang tak dapat aku gambarkan seperti apa dari pintu ruangan itu. Meninggalkan Pak Yusra dengan emosi yang masih menyelimuti dirinya. Entahlah aku tak perduli. Semua ini begitu membuatku sangat tenang dan tak memiliki beban lagi. Mungkin aku tidak akan bisa melanjutkan bimbingan skripsiku lagi. Tapi entahlah, aku kian tidak lagi perduli. Indonesia, dengan pendidikannya, semoga tetap sejahtera. Harian Sejarah
Penulis : IBING HERMAWAN PURNOMO
Penulis merupakan Mahasiswa STKIP “Tapanuli Selatan” Padangsidimpuan; Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bergabung dengan Sanggar Menulis Tapsel yang dibina Budi Hatees sejak 2015. Aktif belajar bersama Para Sastrawan Tapanuli Selatan: Toras Baya, H.R Tanjung, Suki Malo, Sunaryo JW, dan M. Haroen.
0 Response to "Suara-suara Skripsi"
Post a Comment