Operasi Urgent Fury: Invasi AS ke Grenada 1983

Images: New York Times

Invasi Grenada, dinamai Operatsi Urgent Fury, adalah invasi Amerika Serikat dan sekutunya di Karibia ke Grenada sebagai respon dari deposisi dan eksekusi perdana Menteri Grenada, Maurice Bishop. Pada 25 Oktober 1983, Amerika Serikat, Saint Vincent dan Grenadines, Dominika, Barbados, Antigua dan Barbuda, Santa Lucia, dan Jamaika mendarat di Grenada, menaklukan perlawanan Grenada dan Kuba, lalu menurunkan pemerintahan militer Hudson Austin.

Grenada adalah sebuah negara kepulauan di Karibia, sebuah daerah kepulauan di Amerika Tengah. Populasi Grenada mayoritas terdiri dari keturunan budak-budak dari Afrika, yang pada umumnya berbahasa Inggris. Pada awalnya, Grenada merupakan pulau koloni Perancis, untuk lebih dari seabad sampai pada tahun 1763 diberikan pada Britania Raya. Grenada menjadi bagian dari koloni Inggris, sampai mendapat kemerdekaan secara penuh pada tahun 1974.

Pada Maret 1979, secara luas rakyat tidak puas dengan kondisi ekonomi dan pemerintah Perdana Mentri Sir Eric Gairy. Ketidakpuasan ini melibatkan pemerintahkan untuk digulingkan, pada sebuah kudeta tak berdarah yang dipimpin oleh seorang Marxis, Maurice Bishop. Bishop, yang juga merupakan pemimpin kelompok Joint Endeavor for Welfare, Education, and Liberation (JEWEL), mengambil kekuatan penuh di pemerintah. 

Beberapa tahun ke depan, rezim Bishop menggantikan institusi-institusi demokratis dengan marxis, dan mencabut pengaruh Her Majesty’s Governor-General (Gubernur Jenderal Utusan Ratu Inggris) Sir Paul Scoon. Di bawah pemerintahan Bishop, Grenada menjadi daerah dengan pengaruh Soviet di Karibia, bersama Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro.

grenadabishopcastroortega
Dari kiri ke kanan: Daniel Ortega (Nikaragua), Maurice Bishop (Grenada), Fidel Castro (Kuba). Foto: Military History

Dengan Fidel Castro di Kuba dan Maurice Bishop di Grenada, pengaruh Soviet tertanam di ujung utara dan selatan dari rantai kepulauan Antilles. Kontrol pihak Soviet di wilayah ini mengancam kepentingan-kepentingan strategis Amerika Serikat, terutama jalur transportasi udara dan laut melalui Laut Karibia. 

Dengan tenaga kerja dari Kuba sebanyak sekitar enam ratus serdadu bersenjata, di Point Salines, Grenada dibangun sebuah landasan pacu sepanjang 9000 kaki (2.7 km). Rezim Bishop menyatakan bahwa landasan pacu ini dibangun atas kepentingan pariwisata dan peningkatan ekonomi, Namun berdasarkan observasi militer Amerika Serikat, landasan pacu ini dapat memperluas jarak operasi pesawat-pesawat pembom tempur (terutama MiG 23 buatan Soviet) Kuba.

Pada tahun 1981, negara-negara Dominica, St. Lucia, Montserrat, St. Christopher-Nevis, Antigua, Barbados, St. Vincent, dan Grenada membentuk Organisasi Negara-negara Karibia Timur, atau Organization of Eastern Caribbean States (OECS). Pada Oktober 1983 Presiden Ronald Reagan (Amerika Serikat) bertekad membantu OECS dalam pertahanan, mempertahankan tanah atau wilayah sendiri dan dalam menangani situasi darurat pada negara atau kepulauan tetangga.

Awal Dari Krisis

Kecewa terhadap pemerintahan Maurice Bishop, pada 1983 sebuah gerakan berideologi sayap kiri di panitia pusat pemerintah memutuskan untuk menggulingkan Bishop. Dengan bantuan dari Panglima Angkatan Bersenjata Hudson Austin dan Wakil Perdana Menteri Bernard Coard menahan Bishop sebagai tahanan rumah. Seminggu kemudian, para pengikut setia Bishop membebaskannya dari tahanan, namun mereka diserang oleh pasukan, yang dilengkapi kendaraan lapis baja, di bawah pimpinan Panglima Hudson Austin, dan kemudian Bishop ditahan kembali. 

File:Bundesarchiv Bild 183-1982-0610-101, Berlin, Besuch Regierungsdelegation Grenada, Bootsfahrt.jpg
Maurice Bishop dan Menteri Luar Negeri Unison Whiteman di Jerman Timur, 1982

Mayoritas rakyat Grenada mendemonstrasi untuk dikembalikannya Bishop, namun Bishop dieksekusi mati bersama beberapa anggota kabinet. Kejadian ini membuat kisruh nasional, dan Jenderal Austin membubarkan pemerintah sipil dan mendirikan dewan militer revolusioner dengan dirinya sebagai ketua presidium. Jenderal Austin menutup lapangan terbang dan menerapkan “jam malam” selama 24 jam, dan memperingatkan bahwa pelanggar akan ditembak secara langsung. 

Kebijakan-kebijakan pembatasan ini menghalangi warga negara Amerika Serikat, dengan jumlah sekitar seribu atau lebih, untuk meninggalkan pulau Grenada, terutama untuk 600 mahasiswa Amerika di Sekolah Medis St. George (St. George’s School of Medicine). Terperangkap dan tidak bisa keluar dari wilayah sekolah, para pelajar terpaksa melanggar “jam malam” agar bisa selamat, untuk mendapatkan makanan dan minuman.

Pemerintah pusat Amerika di Washington takut akan kemungkinan bahwa rezim baru di Grenada mengancam nyawa warga negara Amerika di Grenada, terutama para pelajar di sekolah medis dan Amerika juga khawatir bahwa Kuba akan menggunakan Grenada sebagai markas untuk meluncurkan operasi terhadap wilayah daratan Amerika Tengah. Pada pertemuan grup antar-region dari Dewan Keamanan Nasional (National Security Council, NSC). 

Langhorne Motley menyarankan kepada Kolonel James W. Connally, bahwa sebuah operasi militer untuk mendukung evakuasi warga negara Amerika dari Grenada kemungkinan menjadi keperluan. Dengan ini angkatan bersenjata Amerika Serikat merencanakan Operasi Urgent Fury, yang bertujuan untuk menyelamatkan warga negara Amerika yang tertahan di Grenada, dan juga mengembalikan pemerintah yang demokratis.

Operasi Urgent Fury

File:Op Urgent Fury Invasion Map.jpg
Daerah Invasi Grenada

Operasi ini akan dilaksanakan oleh militer Amerika Serikat, menggunakan pasukan cepat-tanggap Angkatan Darat AS yang terdiri dari Divisi Lintas Udara ke-82 dan Batalion I dan II dari Resimen Ranger ke-75, Korps Marinir AS, Pasukan Khusus Detasmen Delta, dan Tim Pasukan Khusus SEAL’s dari AL AS. Selain dari Amerika, Barbados dan Jamaica membantu Amerika atas nama Carribean Peace Force. 

Operasi ini akan memiliki empat tahap. Tahap pertama adalah “Transit”, dimana Grup Tempur Independence (Kapal Induk AL AS) dan MARG (Medditeranean Amphibious Ready Group) 1-84 akan mendekati Grenada, dengan Independence mengambil posisi 55NM Barat Laut dari Grenada, dan MARG 1-84 40NM di utara Grenada.

File:Point Salinas International Airport, Grenada.jpg
Jalur Bandara Internasional Salines, Grenada

Tahap kedua, “Insertion”, dimulai dengan infiltrasi tim pasukan khusus ke area St. George untuk mengintai dan menyerang instalasi militer dan polisi Grenada sebelum mulainya invasi utama. Invasi utama akan dimulai dengan pendaratan parasut dari udara, atau Air Assault, pada Bandar Udara Point Salines oleh Resimen Ranger dan pada bagian timur laut, Marinir AS mendaratkan pasukan di Bandar Udara Pearls. Dengan menguasai kedua bandara di Grenada, AS dapat mengevakuasi warga negara AS.

Tahap ketiga dan keempat adalah “Stabilisation or Evacuation” dan “Peacekeeping”. Pada tahap ketiga, setelah mengamankan kedua bandar udara dan instalasi pemerintah dan militer yang strategis, militer Amerika di Grenada akan mencari dan melindungi warga negara AS, Gubernur-Jendral Scoon, dan juga warga asing lain. Evakuasi warga sipil dimasukkan ke tahap keempat.

Jalannya Invasi

Invasi oleh tentara gabungan Amerika dan negara-negara Karibia dimulai pada 25 Oktober 1983, pagi hari. Dalam penyerbuan tersebut, kekuatan tentara dipecah menjadi dua grup. Personil Marine digerakkan untuk menguasai Pulau Grenada sebelah utara, sementara Ranger diperintahkan untuk menyerang dan menduduki Grenada sebelah selatan. Fokus utama penyerangan dari selatan adalah untuk menduduki Bandara Port Saline yang dicurigai akan dijadikan pangkalan militer negara-negara Blok Timur di Karibia.

Berkas:US Army Rangers parachute into Grenada during Operation Urgent Fury.jpg
Pasukan Payung Amerika Serikat saat Invasi Grenada. Foto: U.S. DefenseImagery

Invasi ke Grenada sendiri bukan berarti tidak menuai kontroversi. Banyak negara termasuk Inggris selaku kepala Commonwealth menganggap invasi yang dimotori oleh Amerika tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional. Sebagai respon atas penolakan banyak negara tersebut, PBB pun sempat berencana menyusun resolusi untuk menghentikan invasi tersebut, namun resolusi yang dimaksud gagal dibuat menyusul veto yang dilontarkan oleh perwakilan Amerika dalam rapat PBB. Akibatnya, invasi pun tetap berjalan dan dunia internasional tak bisa berbuat apa-apa selain hanya sebatas mengutuk.

File:AH-1S firing cannon Grenada 1983.JPEG
Sebuah Korps Marinir AS, Helikopter AH-1S Cobra menembaki posisi musuh. Foto: U.S. DefenseImagery

Kembali ke medan perang di Grenada. Pukul 05.00 waktu setempat, ratusan pasukan gabungan Amerika dan negara-negara Karibia mendarat di Bandara Pearls, Grenada utara, dengan menggunakan helikopter pengangkut personil.

Dalam pendaratan tersebut, mereka sempat menghadapi serangan sebagian kecil tentara Grenada, namun serangan tersebut berhasil dipatahkan dengan mudah dan dalam waktu singkat, Bandara Pearls berhasil dikuasai oleh Amerika. Tak lama setelah menduduki bandara, sebagian dari mereka naik kembali ke helikopter untuk singgah di kapal induk sebelum nantinya diberangkatkan kembali ke sisi lain pulau. 

Di ujung selatan pulau, personil Ranger mulai mendarat di Grenada dan mendapatkan perlawanan sengit dari tentara Grenada di daerah tersebut. Untuk meredam perlawanan pasukan Grenada di daerah tersebut, pasukan Amerika pun mengirim pesawat AC-130 Spectre, di mana keberadaan pesawat tersebut memberikan kontribusi atas kesuksesan besar dalam meredam perlawanan tentara Grenada di darat.

Ranger yang sudah berada di tanah Grenada lantas mulai bergerak ke St. George, ibukota Grenada, untuk membebaskan para mahasiswa warga negara Amerika yang ditahan oleh tentara gabungan Grenada dan Kuba.

Ranger berhasil mencapai kampus True Blue, kampus tempat ditahannya para mahasiswa AS pada pukul 09.00 waktu setempat dan berhasil membebaskan seluruh mahasiswa yang disandera. Melalui informasi para mahasiswa tersebut, Ranger juga mendapatkan informasi bahwa ada ratusan mahasiswa AS lainnya yang ditahan di kampus Grand Anse yang terletak beberapa ratus kilometer dari True Blue.

Upaya penyelamatan mahasiswa di Grand Anse sempat terkendala oleh blokade yang dilakukan oleh pasukan Grenada dan Kuba, namun mereka yang ditahan di Grand Anse akhirnya dapat dievakuasi pada hari berikutnya.

27 Oktober 1983, Ranger dan Marine yang dibantu kekuatan udara dari kapal induk USS Independence menggempur basis pertahanan tentara Grenada yang terletak di sebelah utara ibukota St. George. Penyerbuan berjalan sulit karena kuatnya pertahanan yang dibangun oleh tentara Grenada, terlebih karena di hari-hari sebelumnya Amerika sempat kehilangan tiga helikopternya di atas area tersebut sehingga Amerika terkesan lebih berhati-hati dan waspada pada saat melakukan penyerbuan. Setelah melalui pertempuran yang sengit, basis pertahanan tersebut akhirnya bisa direbut oleh Amerika.

File:UH-60As over Port Salines airport Grenada 1983.JPEG
Helikopter UH-60A Black Hawk saat Invasi Grenada melewati Jalur Saliner. Foto: U.S. DefenseImagery

Setelah berhasil merebut ibukota St. George dan sekitarnya, kini tentara gabungan Amerika dan negara-negara Karibia lebih fokus untuk membersihkan sebagian tentara Grenada yang masih tersisa dan terpencar di seantero pulau. Memasuki bulan November, tentara gabungan Amerika dan negara-negara Karibia mengumumkan bahwa konflik bersenjata telah berakhir. 

Sebagian dari tentara gabungan Amerika dan negara-negara Karibia meninggalkan Grenada, sementara sebagian lainnya tetap ditempatkan di Grenada untuk menormalkan kembali aktivitas sosial negara tersebut yang sempat lumpuh akibat kudeta dan peperangan.

Kondisi Pasca Invasi

Invasi ke Grenada berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Konflik militer hanya berlangsung selama sekitar satu minggu, namun operasi militer oleh Amerika sendiri tetap berlangsung hingga bulan Desember dimana dalam operasi militer pasca konflik militer, pasukan Amerika ditugaskan untuk menjaga keamanan sementara di Grenada.

Dalam invasi militer tersebut, Amerika dilaporkan kehilangan 19 personilnya. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan jumlah korban yang tewas di pihak Grenada dan Kuba yang jika ditotal mencapai 70 orang.


Pasca berakhirnya invasi, timbul kekosongan kekuasaan di tubuh pemerintahan Grenada menyusul tumbangnya rezim NJM akibat serangan oleh tentara gabungan Amerika dan negara-negara Karibia. Pemiilhan umum kemudian dilaksanakan setahun sesudah invasi di mana dalam pemilu tersebut, Grenada National Party (Partai Nasional Grenada; GNP) keluar sebagai partai pemenang dan Herbert Blaize terpilih sebagai perdana menteri Grenada yang baru. 

Sejak saat itu, perlahan tapi pasti Grenada pun mulai memulihkan dirinya kembali.  Kini, Grenada menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Karibia dan sekitar empat kapal pesiar mengunjungi Grenada setiap tahunnya.

Rujukan:
  • Cole, Ronald H. 1997. Operation Urgent Fury: The Planning and Execution of Joint Operations in Grenada, 12 October - 2 November 1983. Washington DC: Joint History Office
  • Operation Urgent Fury: The Invasion of Grenada, October 1983
  • Operation “Urgent Fury”: Military Police (MP) in Grenada
Penulis: Muhammad Arkan dan Anggoro Prasetyo | Ilmu Sejarah UI

0 Response to "Operasi Urgent Fury: Invasi AS ke Grenada 1983"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel