STOVIA: Sejarah Pendidikan Dokter Indonesia
Sejarah kedokteran kita mencatat nama-nama besar dokter-dokter pengabdi dan pejuang masyarakat dalam arti yang luas : Wahidin Soedirohusodo, Sutomo, Abdul Rivai, Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis, A.K. Gani dan banyak lainnya. “Boedi Oetomo” yang menjadi tonggal sejarah lahirnya Kebangkitan Nasional, “Sumpah Pemuda” yang menjadi dasar persatuan Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari tempat-tempat pendidikan kedokteran dan mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Nama-nama dan sejarah itu membuat para dokter – dan kita semua – untuk memperbesar pengambdian kepada masyarakat kita yang sedang membangun. ” - Soeharto, 10 November 1976.
Beberapa waktu yang lalu aku berkesempatan mengobrol dengan Bapak Thomas Siregar, kepala Museum KAA. Ia menyayangkan rendahnya minat kunjungan wisatawan lokal terhadap museum. “Padahal, bagi wisatawan luar negeri kunjungan museum adalah prioritas utama setiap kali mereka mendatangi suatu negara atau daerah. Di sana mereka mencari segala informasi terkait negara atau daerah tersebut,” ujarnya. Aku setuju dengan beliau. Wisatawan lokal tampaknya lebih suka mengunjungi tempat-tempat belanja daripada museum.
Aku termasuk di dalamnya. Ketika mengunjungi Borobudur beberapa waktu lalu, aku sangat menyesal karena melewatkan kesempatan mengunjungi museumnya. Demikian juga ketika aku berkesempatan menjelajahi Jogjakarta yang terkenal sebagai kota Museum, aku lebih banyak menghabiskan waktu di Malioboro dan pusat pertokoan buku. Tapi jangan dulu bicara kota lain deh, di Bandung saja aku sangat jarang mengunjungi Museum.
Dari sekian banyak museum yang ada di Indonesia, satu yang cukup menarik perhatianku adalah Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta. Kalau ada kesempatan dalam waktu dekat ini, aku bertekad agar bisa mengunjunginya. Aku ingin mengetahui lebih banyak mengenai proses bangkitnya kesadaran dan kebangkitan semangat perjuangan di kalangan dokter Indonesia. Kalangan yang selama ini dianggap bersih dari segala urusan politik dan pergerakan.
Tapi sebelum itu alangkah lebih baiknya apabila aku membaca sedikit mengenai sejarahnya. Untuk itu telah ada dua buku di tanganku. Satu buku berbahasa Belanda berjudul “Ontwikkeling Van Het Geneeskundig Onderwijs Te Weltevreden 1851-1926” (Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden. G. Kolff Weltevreden – 1926) dan buku berbahasa Indonesia berjudul “125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976″ (Fak. Kedokteran UI, 1976).
Dua buku tersebut tidak mengkhususkan diri pada pembahasan sejarah pergerakan di kalangan pelajar STOVIA melainkan sejarah STOVIA itu sendiri. Ini bisa membekaliku dengan informasi awal mengenai sejarah Gedung Museum Kebangkitan Nasional tersebut. Selanjutnya mungkin akan kulanjutkan dengan penelusuran sejarah pergerakan yang dirintis para calon dokter dididikan sekolah tersebut dari buku-buku lainnya.
Buku “Ontwikkeling Van Het Geneeskundig Onderwijs Te Weltevreden 1851-1926” adalah buku sejenis Gedenkboek atau buku kenang-kenangan yang lazim diterbitkan institusi-institusi besar di masa kolonial. Buku-buku semacam ini memuat informasi berharga seputar perjalanan sejarah institusi sejak didirikan hingga tahun dimana buku tersebut dicetak. Karena dicetak secara khusus, biasanya buku ini peredarannya terbatas dan sangat sulit ditemukan di masa-masa sekarang. Kalaupun ada harganya cukup mahal.
Buku yang pada covernya tertatahkan tinta berwarna emas ini berisi beberapa tulisan, diantaranya : Perjalanan setengah abad pendidikan kedokteran di Wltevreden oleh A. de Waart, Gedung STOVIA oleh arsitek Van Hoytema (sedikit info, dulunya rumah yang kutempati ini berada di jalan van hoytemaweg, dinamakan untuk menghormati jasa sang arsitek).
Beberapa tulisan dari pengajar STOVIA tentang bidang-bidang yang mereka ajarkan, Kenang-kenangan dari para siswa, Anekdot-anekdot, dan tabel-tabel statistik beserta daftar siswa yang pernah dididik di sana. Dari 382 lulusan, Beberapa yang berasal dari Bandung/Priangan di antaranya adalah :
Tulisan oleh Santi J. N.
Beberapa waktu yang lalu aku berkesempatan mengobrol dengan Bapak Thomas Siregar, kepala Museum KAA. Ia menyayangkan rendahnya minat kunjungan wisatawan lokal terhadap museum. “Padahal, bagi wisatawan luar negeri kunjungan museum adalah prioritas utama setiap kali mereka mendatangi suatu negara atau daerah. Di sana mereka mencari segala informasi terkait negara atau daerah tersebut,” ujarnya. Aku setuju dengan beliau. Wisatawan lokal tampaknya lebih suka mengunjungi tempat-tempat belanja daripada museum.
Aku termasuk di dalamnya. Ketika mengunjungi Borobudur beberapa waktu lalu, aku sangat menyesal karena melewatkan kesempatan mengunjungi museumnya. Demikian juga ketika aku berkesempatan menjelajahi Jogjakarta yang terkenal sebagai kota Museum, aku lebih banyak menghabiskan waktu di Malioboro dan pusat pertokoan buku. Tapi jangan dulu bicara kota lain deh, di Bandung saja aku sangat jarang mengunjungi Museum.
Dari sekian banyak museum yang ada di Indonesia, satu yang cukup menarik perhatianku adalah Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta. Kalau ada kesempatan dalam waktu dekat ini, aku bertekad agar bisa mengunjunginya. Aku ingin mengetahui lebih banyak mengenai proses bangkitnya kesadaran dan kebangkitan semangat perjuangan di kalangan dokter Indonesia. Kalangan yang selama ini dianggap bersih dari segala urusan politik dan pergerakan.
Tapi sebelum itu alangkah lebih baiknya apabila aku membaca sedikit mengenai sejarahnya. Untuk itu telah ada dua buku di tanganku. Satu buku berbahasa Belanda berjudul “Ontwikkeling Van Het Geneeskundig Onderwijs Te Weltevreden 1851-1926” (Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Weltevreden. G. Kolff Weltevreden – 1926) dan buku berbahasa Indonesia berjudul “125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976″ (Fak. Kedokteran UI, 1976).
Dua buku tersebut tidak mengkhususkan diri pada pembahasan sejarah pergerakan di kalangan pelajar STOVIA melainkan sejarah STOVIA itu sendiri. Ini bisa membekaliku dengan informasi awal mengenai sejarah Gedung Museum Kebangkitan Nasional tersebut. Selanjutnya mungkin akan kulanjutkan dengan penelusuran sejarah pergerakan yang dirintis para calon dokter dididikan sekolah tersebut dari buku-buku lainnya.
Gedung STOVIA (Sumber : Gedenkboek STOVIA) |
Buku yang pada covernya tertatahkan tinta berwarna emas ini berisi beberapa tulisan, diantaranya : Perjalanan setengah abad pendidikan kedokteran di Wltevreden oleh A. de Waart, Gedung STOVIA oleh arsitek Van Hoytema (sedikit info, dulunya rumah yang kutempati ini berada di jalan van hoytemaweg, dinamakan untuk menghormati jasa sang arsitek).
Beberapa tulisan dari pengajar STOVIA tentang bidang-bidang yang mereka ajarkan, Kenang-kenangan dari para siswa, Anekdot-anekdot, dan tabel-tabel statistik beserta daftar siswa yang pernah dididik di sana. Dari 382 lulusan, Beberapa yang berasal dari Bandung/Priangan di antaranya adalah :
- E. Moehalie (Preanger, 27/12/1886 – 14/2/1894)
- Raden Baron (Bandoeng, 1/3/1899 – 1/11/1907)
- Raden Nata Koesoemah alias Moerad (Tjitjalengka, 19/2/1900 – 20/9/1910)
- Mas Dajat (Soemedang, 29/12/1904 – 21/6/1916)
- Koesma (Bandoeng, 1/3/1908 – 21/6/1916)
- Kisman (Bandoeng, 24/10/1910 – 8/5/1920)
- Mas Aboel Patah (Madjalaja, 9/10/1911 – 29/10/1921)
- Mas Drajad (Bandoeng, 22/9/1912 – 28/1/1921)
- Salim (Soemedang, 13/9/1914 – 2/5/1925)
- Raden Maamoen Al Rasjid Koesoemadilaga (Soemedang, 21/8/1915 – 17/7/1926)
Seluruh siswa STOVIA pada umumnya memasuki sekolah tersebut pada usia 14-15 tahun dan merupakan mereka yang terbaik dari sekolah sebelumnya. Dilihat dari nama-namanya, banyak sekali yang bukan berasal dari kalangan ningrat/bangsawan melainkan dari tingkat priyayi rendahan. Dengan demikian STOVIA menghasilkan golongan elit baru yang disebut Robert Van Niel sebagai “Prototype pegawai pemerintah dan intelektual abad dua puluh.” Sebagian dari kalangan intelektual inilah yang nantinya, berlawanan dengan harapan pemerintah kolonial terhadap mereka, menjadi penggerak kesadaran nasional atas buruknya perlakuan Belanda terhadap kaum pribumi.
Walaupun “Gedenkboek STOVIA” tidak membahas pergerakan nasional yang dirintis beberapa lulusannya, banyak sekali informasi mengenai sekolah tersebut yang sayangnya seperti sering kukeluhkan selama ini, tidak banyak bisa kucerna akibat pemahaman bahasa Belandaku yang sangat kurang. Akibatnya aku hanya bisa menikmati puluhan dokumentasi sejarah dalam buku ini beserta sedikit sekali keterangan mengenainya.
Untungnya ada buku 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976 yang disusun oleh Panitia Peringatan 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976. Lewat buku ini, khususnya satu artikel yang ditulis oleh Prof. M.A. Hanafiah S.M. berjudul “125 Tahun Pendidikan Dokter : 75 Tahun Pertama”, aku bisa mendapatkan sedikit gambaran mengenai apa-apa yang dibahas dalam buku Gedenkboek STOVIA karena sang penulis banyak mengambil bahan darinya. Berikut sedikit rangkumannya.
Diawali dari bermacam penyakit yang mengaggu penduduk Banyumas pada tahun 1847, Belanda mulai kewalahan menangani wabah tersebut dikarenakan tenaga kedokterannya yang sangat kurang. Dengan demikian diusahakanlah perekrutan tenaga pribumi sebagai dokter agar murah dan mudah didapat. Usaha itu diawali dengan penyuluhan pencegahan penyakit dan petunjuk penggunaan jamu serta obat-obatan sederhana kepada para kepala desa. Usaha ini ternyata tidak banyak menolong.
Dr. W. Bosch Kepala Jawatan Kesehatan saat itu mengusulkan supaya beberapa orang pribumi dididik untuk menjadi pembantu dokter Belanda. Dari sana muncullah Sekolah Dokter Jawa yang ditetapkan melalui keputusan Gubernemen tanggal 2 Januari 1849 No. 22. Di sana ditetapkan bahwa:
- Di rumah sakit militer supaya dididik dengan percuma kurang lebih 30 pemuda Jawa, supaya menjadi dokter-pribumi dan “vaccinateur” (mantri cacar).
- Yang akan diterima adalah pemuda dari keluarga baik-baik, pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan Jawa. Selesai pendidikan, mereka harus bersedia masuk dinas Pemerintah sebagai mantri-cacar. Sesudah sebanyak mungkin belajar sendiri, juga dapat nantinya memberi pertolongan medik kepada penduduk daerahnya sendiri.
- Mereka “yang menghendaki”, diberi gaji fl.15 sebulan dan gratis perumahan.
Pendidikan dimulai di 3 rumah sakit, di Weltevreden, Semarang dan Surabaya. Kemudian dietapkan hanya di Weltevreden saja, terutama untuk menjaga keseragaman. Sekolah itu dibuka dua tahun kemudian dengan 12 murid. Mereka diajarkan pencacar dan memberikan pertolongan jitu kepada penderita penyakit “panas dan sakit perut”. Bahasa Melayu dijadikan pengantar pelajaran.
Selama dua tahun lamanya siswa atau eleve diberikan 17 mata pelajaran antara lain bahasa Belanda, berhitung, ilmu ukur, ilmu faal, ilmu penyakit, ilmu bedah, dan lain-lain. Hasilnya 11 orang dinyatakan lulus. Dengan surat keputusan Gubernemen tanggal 5 Juni 1853 No. 10 mereka diberi gelar Dokter Jawa, tapi dipekerjakan sebagai Mantri Cacar. Baru lima tahun kemudian beberapa lulusan ditempatkan sebagai pembantu dokter militer atau dokter sipil. Bagaimanapun mereka sangat berjasa dalam menjaga kesehatan masyarakat.
Pelajaran ilmu alam (Sumber : Gedenkboek STOVIA) |
Pada tahun 1856 mulai diterima anak-anak dari luar Jawa dan dilakukan penyusunan ulang kurikulum untuk menyesuaikan kebutuhan. Sejak tahun 1864, lama sekolah dijadikan 3 tahun dengan syarat yang diperberat. Siswa pun dibatasi sampai 50 orang saja, mereka harus pandai membaca dan menulis bahasa Melayu dalam huruf latin. Mata pelajaran ditambah menjadi 27, ditambah dasar kosmografi, geologi, minerologi, dan ilmu dokter kehakiman karena mereka harus sanggup membantu polisi dalam memeriksa perkara penganiayaan dan pembunuhan.
Seiring dengan itu, Wewenang dokter Jawa ditambah dari yang biasanya hanya bisa menjadi matri cacar kini bisa menjadi dokter privat dengan pengawasan pemerintah. Selulusnya dari sekolah, mereka dilengkapi dengan tas berisi obat, gaji fl. 30 sebulan, tiap 5 tahun naik fl. 5, sampai maksimum fl. 50. Pada awalnya para dokter Jawa ini belum diakui sebagai bagian dari kelompok elit. Mereka baru boleh memakai payung pada tahun 1882.
Dikarenakan kekhawatiran atas kesiapan lulusan menghadapi keadaan lapangan, pada tahun 1864 kewenangan penjalanan praktek dokter oleh dokter Jawa dicabut dan mereka kembali hanya bisa bekerja sebagai mantri cacar seperti sebelumnya. Salah satu direktur sekolah , J.J.W.E. van Riemsdijk mengkritik langkah tersebut sehingga pada tahun 1975 diadakan perubahan besar. Lama pendidikan menjadi 7 tahun, termasuk dua tahun persiapan dimana siswa diajar bahasa Belanda yang akan menjadi bahasa pengantar selama 5 tahun pendidikan selanjutnya. Pada tahun 1889 masa persiapan ditambah menjadi tiga tahun.
Yang diterima menjadi murid maksimal 100 orang, umur antara 14 sampai 18 tahun yang telah tamat sekolah Melayu pemerintah. Jumlah guru pun ditambah terus untuk memenuhi kebutuhan. Pada umumnya banyak guru ini mengeluh banyak siswa yang belum memahami bahasa Belanda yang dijadikan pengantar, sehingga selama empat tahun (1876-1880) 40% murid yang diterima dikeluarkan karena tidak sanggup mengikuti pelajaran. Dengan demikian sejak tahun 1890 hanya tamatan sekolah dasar Belanda (Europesche Lagere School) yang diterima sebagai siswa. Aturan ini berlaku hingga tahun 1915.
Untuk mendukung pendidikan praktek, diadakan poliklinik buat sakit mata dan penyakit lainnya. Semua pasien ditolong tanpa dipungut bayaran. Setahun kemudian disediakan rumah sakit militer di beberapa tempat untuk merawat orang miskin. Waktu itu turut diadakan pengajaran pemeriksaan perempuan pelacur karena pemeriksaan itu merupakan salah satu tugas penting seorang dokter Jawa.
Berkat peran Dr. H.F. Roll, sekolah dokter Jawa mengalami perkembangan signifikan. Kemampuan penerimaan siswa ditambah dari 84 menjadi 150 orang. Berkat bantuan 3 pengusaha dari Deli, P.W. Jansen, J. Nieuhuis, dan H.C. van den Houert yang menyumbang fl. 178.000, sebuah gedung baru di Hospitaalweg (sekarang Jl. Dr. Abdul Rachman Saleh 26) dapat dibangun dan baru resmi digunakan tahun 1902.
Dalam sistem yang baru, Karena murid baru merupakan tamatan sekolah Belanda, maka bagian persiapan diperpendek lagi menjadi 2 tahun. Ilmu kebidanan dan dokter kehakiman mulai dijadikan sebagai bahan ujian akhir. Direktur sekolah dipisahkan dari pimpinan labotarium kedokteran, sehingga dapat mencurahkan pikiran dan tenaganya kepada pendidikan saja. Pada tahun 1903, syarat masuk diperketat melalui diadakannya ujian saringan masuk.
Dengan dibukanya sekolah Dokter Jawa kepada seluruh kandidat siswa dari seluruh Hindia Belanda, maka nama sekolah diubah menjadi School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA). Gelar mereka pun tidak lagi Dokter Jawa melaikan Inlandsch Arts (Dokter Bumiputera). Ia berwenang mempraktikan ilmu kedokteran termasuk kebidanan. Gaji awalnya ditetapkan fl. 150 sebulan, tiap 3 tahun ditambah sampai fl. 250. Mereka wajib bekerja di dinas pemerintah selama 10 tahun, kalau tidak ia bersama orang tua atau walinya wajib mengembalikan biaya pendidikan selama 9 tahun kepada pemerintah sebanyak fl. 5800, kecuali kalau berhenti karena sakit badaniah ataupun jiwa. Tidak semua menyambut aturan ini, Akibatnya jumlah murid baru menurun drastis dan tidak mencapai target 30 orang.
Suasana kelas di gedung lama di Hospitaalweg (Sumber : Gedenkboek STOVIA) |
STOVIA sebagai lembaga pendidikan 9 tahun baru menghasilkan Inlandsch Arts pada tahun 1909. Di masa itu, J. Noordhoek sebagai Direktur pengganti H.F. Roll mendesak pembangunan gedung STOVIA yang baru di samping rumah sakit besar di Salemba. Pembangunan juga dilakukan untuk memenuhi kekurangan dokter yang dialami Hindia Belanda, terutama setelah pada tahun 1911 terjadi wabah pes di beberapa daerah, salah satunya di Malang.
Dari tahun ke tahun organisasi STOVIA terus mengalami pembaruan. Praktikum dan alat pendukungnya diperbanyak. Jumlah guru spesialis dan pembantunya ditingkatkan terus, seraya dibebaskan dari tugas kemiliteran. Gelar Inlandsch Arts diubah menjadi Indisch Arts (Dokter Hindia). Lama pendidikan pun ditingkatkan menjadi 10 tahun lamanya. Di Surabaya, sekolah dokter kedua dibangun dengan nama Nederlands Indische Artsen School (N.I.A.S.). Sekolah ini memiliki sistem yang sama dengan STOVIA.
Akhir tahun 1919 Rumah Sakit yang baru selesai dibangun, namanya Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting, di bawah pimpinan Dr. Hulskoff. Rumah sakit ini digunakan sebagai tempat praktik siswa STOVIA. Pada tanggal 5 Juli 1920 seluruh pendidikan dipindahkan ke Salemba 6, satu bangunan yang sangat modern saat itu. Tiap mata pelajaran memiliki ruangan kuliah dan kerja tersendiri yang cukup luas. Pada tahun 1925 Gedung STOVIA yang lama tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran Sekolah Kedokteran Bumiputera namun menjadi pendidikan untuk MULO (Setingkat SMP) dan AMS (setingkat SMA) dan Sekolah Asisten Apoteker.
Selama tahun 1923-1924 Indisch Arts yang pertama lulus menyelesaikan pendidikan 10 tahun. Selama itu anak yang baru masuk pada bagian persiapan tidak lagi diwajibkan mengikuti kontrak kerja setelah lulus kepada pemerintah. Buat mereka yang kurang mampu akan disediakan beasiswa. Sistem kontrak hanya dipertahankan buat mereka di bagian kedokteran. Itupun bisa dilepaskan setiap waktu asal lulusan bisa mengembalikan biaya yang dikeluarkan buatnya, ditambah bunga yang wajar.
***
Sebagai lanjutan pertumbuhan pendidikan dokter, Pemerintah Hindia Belanda telah mempertimbangkan pendirian Perguruan Tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool). Dibentuklah panitia yang akan mempelajari soal ini. Tapi karena periode sekolah tinggi tersebut merupakan episode tersendiri dan tidak dimuat dalam buku Gedenkboek STOVIA, lebih baik tidak kubahas dulu untuk saat ini.
Demikian sepotong sejarah Pendidikan Dokter pada 75 tahun pertama pendiriannya. Aku yakin masih banyak informasi yang tidak kutulis di sini, semoga nanti setelah kukunjungi Museumnya bisa kubagi lebih banyak mengenai sejarahnya. Doakan saja supaya aku bisa cepat mengunjungi Museum Kebangkitan Nasional ya…
Pemberkatan peralatan operasi oleh pemuka agama (Sumber : Gedenkboek STOVIA) |
Gedung medis di Salemba (Sumber : Gedenkboek STOVIA) |
Rancangan gedung STOVIA oleh Van Hoytema (Sumber : Gedenkboek STOVIA) |
Belajar anatomi (Sumber : Gedenkboek STOVIA) |
Aku bukan seorang penulis, malahan boleh dibilang aku adalah seorang penulis yang buruk. Aku pembaca yang lapar, namun terlalu “lumpuh” untuk menulis. Maafkan segala keterbatasanku dalam menumpahkan pikiran ke bentuk tulisan.
Aku bukan sastrawan dan bukan pula sejarawan. Semua posting dalam blog ini tidak lain hanyalah sekadar upayaku untuk menunaikan tanggung jawab sebagai seorang pembaca buku yang baik. Semoga semua tulisan bisa menjadi tambahan informasi untuk teman-teman sesama penggemar buku atau sejarah. Ini adalah penebusan dosaku, semoga aku diberi kekuatan oleh Tuhan untuk tetap bisa berbagi.
Dapatkan tulisan menarik tentang sejarah di Blog Santi J. N. di www.santijehannanda.com
0 Response to "STOVIA: Sejarah Pendidikan Dokter Indonesia"
Post a Comment