Pramoedya Ananta Toer, Dari Penjara Zaman Belanda Hingga Penjara Orde Baru


Dapat kita katakana sebagai penulis yang sangat terkenal di Indonesia. Pramoedya Ananta Toer atau yang biasa dikenal dengan sapaan Pram merupakan seorang penulis novel yang banyak mencatat banyak peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Tulisan Pram dinilai memiliki kekuatan khusus karena ia sendiri sebagai saksi sejarah dari banyak karya yang ia tulis. Pram kerak kali masuk pencara karena tulisan-tulisannya yang dinilai sebagai kegiatan membangkang.

Pram pernah merasakan masuk penjara pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia yang pada saat itu tahun 1969 merupaka era kekuasaan Orde Baru. Pada masa Presiden Soeharto, Pram harus mendekam di kamm penjara di Pulau Buru selama 10 tahun. Selama di penjara Pram menulis empat novel yang banyak dikenal sebagai Tetralogi Pulau Buru. Pengalamannya saat di penjara di Pulau Buru didokumentasikan pada sebuah memoir berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pram sering disandingkan dengan seorang penulis terkenal asal Rusia, Alexander Solzhenitsyn dan penulis pembangkang lain di seluruh dunia.

Kehidupan Pribadi

Pramoedya Ananta lahir di Blora, di Jawa Tengah, pada tanggal 6 Februari 1925, ketika Indonesia masih menjadi bagian koloni Belanda. Dia adalah salah satu dari sembilan anak. Ayah Pramoedya adalah seorang pendidik dan anggota dari kelompok pro-kemerdekaan yang disebut Budi Utomo. Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya menggambarkan ayahnya sebagai "orang Jawa yang memiliki perasaan mistis yang dekat dengan kata-kata" dan menjelaskan bahwa nama Pramoedya berasal dari slogan revolusioner, "Yang Pertama di Medan," atau "Pertama di medan perang." Ayahnya adalah seorang aktivis kemerdekaan yang karismatik, "singa di mimbar," Pramoedya menulis, tapi ia juga menderita kecanduan judi. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, Pramoedya harus menghemat uang dengan bekerja dengan ibunya sebagai pedagang beras.

Pramoedya lulus dari sekolah pada tahun 1941, saat Perang Dunia II pecah. Pasukan angkatan laut Jepang dengan cepat mengalahkan gabungan "ABCD" (Amerika, Inggris, Cina, Belanda) pasukan di perairan Asia Tenggara dan menduduki Indonesia.

Pramoedya, seperti banyak orang Indonesia lainnya, awalnya menyambut Jepang sebagai pembebas dari penjajahan kolonial Belanda, dan ia bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia untuk kantor berita Jepang, Domei.

Dalam kekosongan kekuasaan yang diikuti Jepang menyerah pada tahun 1945, Indonesia, dipimpin oleh presiden pertama negara itu, Sukarno (banyak orang Jawa Indonesia hanya menggunakan satu nama), menyatakan kemerdekaan. Belanda melancarkan perang empat tahun untuk memulihkan koloninya, dan Pramoedya berjuang untuk waktu dalam kelompok gerilya. Ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan.

Dia kemudian pindah ke Jakarta dan menjadi editor jurnal pro-kemerdekaan. Kegiatannya tersebut membuat ia dipenjarakan oleh pemerintah Belanda antara musim panas 1947 dan akhir tahun 1949. Sementara ia di penjara, penjaga memberi Pramoedya salinan novel epik John Steinbeck, Of Mice and Men, yang digunakan Pramoedya sebagai untuk belajar bahasa Inggris.

Dia juga mulai memerangi keputusasaan kehidupan di penjara dengan menulis. Pram menyelesaikan novelnya pertama, Perburuan (The Fugitive, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1990). Novel yang diterbitkan pada tahun 1950, itu menceritakan hari-hari terakhir pendudukan Jepang dari Indonesia dalam Perang Dunia II. Buku ini membuat Pramoedya mendapatkan pengakuan luas.

Pramoedya gemar mengatakan bahwa ia menjadi penulis karena dia tidak memiliki keterampilan berharga lainnya.. Dia juga menulis cerita pendek yang dikumpulkan menjadi beberapa buku; salah satu dari ini, Cerita dari Blora (1952), unggulan pengaturan dari daerah asalnya. Novel Korupsi (Tipikor, 1954), ditulis setelah Pramoedya menghabiskan satu tahun di Belanda pada program pertukaran budaya. Pada tahun 1956, Tidak lama kemudian ia pulang ke Indonesia dan menjadi anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikenal sebagai organisasi kebudayaan berhaluan kiri.

Pram sempat ke Beijing untuk menghadiri hari kematian Lu Sung. Kembali ke Indonesia, ia kemudian mulai mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang tionghoa di Indonesia. Pram bahkan menjalin hubungan yang erat dengan para penulis atau sastrawan dari Tiongkok, dan selama tahun 1950-an. Pram secara bertahap berpindah haluan politik menjadi seorang dengan berideologi kiri sosialis yang banyak dari tulisannya dari akhir 1950-an yaitu esai nonfiksi dengan tema kritik sosial.

Di masa tersebut, Pram banyak menulis karya-karya sastra dan juga tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintahan Indonesia mengenai penyiksaan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1958, Pram didaulat menjadi pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kesenian Jakarta) yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia.

Tetralogi Pulau Buru


Pada tahun 1979 Pramoedya dibebaskan dari penjara, sebagian sebagai akibat dari bantuan dari pemerintahan Presiden AS Jimmy Carter dan kemudian ditempatkan di bawah tahanan rumah di Jakarta. Meskipun tulisan-tulisannya sebagian besar dilarang, ia diizinkan untuk menulis, dan ia menulis cerita yang ia tulis di penjara menjadi sebuah rangkaian novel yang terdiri dari empat novel, yang dikenal sebagai Tetralogi Pulau Buru. Empat novel tersebut yaitu, Bumi Manusia (1991), Anak Semua Bangsa (1993), Jejak Langkah (1993), dan Rumah Kaca.

Buku-buku ini, terutama yang pertama, dipuji secara internasional sebagai karya dan diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Novel menelusuri mekanisme represi kolonial melalui cerita keluarga Belanda. Tokoh sentral, seorang bernama Minke didasarkan pada seorang jurnalis bernama Tito Adi Surya yang  merupakan sosok jurnalis berpengaruh dalam nasionalisme Indonesia awal.

Meskipun Pram mendapat sambutan atas buku-bukunya, termasuk Tetralogi Pulau Buru. Buku tersebut tetap dilarang di Indonesia hingga tahun 1990-an. Ditanyakan oleh Michigan Hari mengapa buku Tetralogi Pulau Buru dilarang meskipun buku tersebut bercerita mengenai kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, Pramoedya menjawab, "Yah, tampaknya Suharto diidentifikasi dengan target!" Memang, Pramoedya menjadi simbol internasional dari kebebasan kreatif, dan ia diberi penghargaan bergengsi Freedom-to-Write Award oleh organisasi penulis internasional pada tahun 1988. Dengan munculnya teknologi internet, hasil scan dari buku-buku Pramoedya mulai menemukan jalan mereka dan beredar secara sembunyi-sembunyi. Meskipun larangan karya-karyanya tidak pernah secara resmi terdaftar, salinan Tetralogi Pulau Buru yang tersedia di beberapa toko buku Jakarta pada awal 2000-an.

Setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998, Pramoedya secara resmi dibebaskan dan diizinkan untuk melakukan perjalanan secara bebas. Ia mengunjungi Amerika Serikat pada tahun 1999 dan menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Michigan. Meskipun politik Indonesia yang diliberalisasi di awal 2000-an, yang mengarah ke awal dari pemilihan presiden yang bebas, Pramoedya melihat perkembangan tersebut skeptis, menunjuk ke pengaruh terus militer negara itu. Dia juga skeptis terhadap infus modal Barat ke negara berkembang, mengatakan bahwa "saat ini adalah kemenangan mutlak dari perusahaan multinasional. Sekarang, pada kenyataannya, seluruh Dunia Ketiga berharap untuk bantuan modal. Itulah yang Sukarno ajarakan. Jangan mengundang kapitalisme, tetapi jika Anda ingin mengembangkan, itu OK untuk meminjam uang, saya menentang kapitalisme tapi tidak modal. "

Pramoedya terus menulis dan mengembangkan cara-cara inovatif menggabungkan sejarah Indonesia ke dalam karyanya. Bukunya Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer mengkisahkan perbudakan seks yang dilakukan selama pendudukan Jepang di Jawa; meskipun dokumenter di alam, itu ditulis dalam bentuk novel.

Kematian

Meskipun sudah masuk masa tua, Pram tetap aktif menulis. Hingga kemudian ia terbaring di rumah sakit pada awal 2006 akibat penyakit diabetes, sesak nafas dan jantungnya yang melemah. Hingga kemudian ia keluar lagi. Namun kembali masuk rumah sakit ketika kondisinya makin memburuk akibat panyakit radang paru-paru.

Hingga pada tanggal 30 April 2006, Pram akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggal di usia 81 tahun. Pramoedya Ananta Toer kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sudjatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Organisasi

  1. Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
  2. Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
  3. Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
  4. Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
  5. Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
  6. International PEN English Center Award, Inggris, 1992
  7. International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999


Penghargaan

  1. Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
  2. Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
  3. Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
  4. Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
  5. UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
  6. Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
  7. Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
  8.  Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
  9. New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
  10. Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
  11. The Norwegian Authors Union, 2004
  12. Centenario Pablo Neruda, Chili, 200

0 Response to "Pramoedya Ananta Toer, Dari Penjara Zaman Belanda Hingga Penjara Orde Baru"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel